Jumat, Februari 15, 2008

Antara Percepatan Teknologi dan Budaya

Teknologi yang semula dipuja sebagai langkah maju peradaban manusia yang mengantarkannya menuju peradaban tinggi, ternyata menyisakan masalah. Hal ini karena teknologi ternyata tidak murni dan netral, tetapi membawa serta pemikiran-pemikiran dan ideologi penyertanya yang justru mengekspansi nilai-nilai asli budaya bangsa melalui ideologi-iodeologi dan sistem berfikir, sebut saja sekularisme, humanisme da materialisme.
Tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari aspek teknolgi yang dituding paling andil menghasilkan produksi yang melimpah dalam banyak bidang. yang ternyata tidak saja menghantam ekologi dan makhluk hidup berupa hancurnya spesies-spesies hidup, tetapi melihat sisi kehancuran kebudayaan bangsa yang berlangsung secara perlahan namun berjalan dengan langkah mantap dan berpotensi meluluhlantakkan.
Setidaknya, terdapat dua golongan besar yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh manusia ini, khususnya dari Barat.
Golongan pertama, adalah masyarakat umum yang terpengaruh secara langsung dan berperan aktif dalam kemajuan ini. Jika dikategorikan secara umum, terdapat tiga kelompok reaksi. Kelompok pertama, adalah masyarakat umum yang terkaget-kaget dengan ekspansi teknologi yang ada. Hal ini mengakibatkan golongan ini mengadopsi secara buta dan menganggap hal ersebut sebagai sebuah kemajuan yang membanggakan, karena dapat menaikkan status diri di masyarakat dan membantunya menikmati fasilitas hidup. Kelompok kedua, adalah golongan pelajar yang mendapat pendidikan kurang matang sehingga menimbulkan sikap pragmatis. Lulusan-lulusan ini umumnya menjadi ‘users pasif’ atau pengguna serta operator dari kemajuan tersebut, dan menganggap apa yang dilakukannya adalah hebat dan terpandang, lebih tinggi kedudukannya dari golongan satu. Motif utama yang melatar belakangi kelompok ini umumnya adalah ekonomi. Kelompok ketiga, adalah para cendekiawan dan budayawan serta pemerhati lainnya, khususnya bidang budaya. Pada tingkatan ini, para pemerhati dampak teknologi mampu melihat sisi-sisi kelemahan dari teknologi yang yang dianggap sebagai panglima perang peradaban. Suatu bangsa telah mendapat nilai-nilai standar kemajuan yang ditentukan oleh bangsa lain dan pemikiran tertentu. Tentu saja hal ini mengakibatkan tergerusnya budaya lokal dan kebijaksanaannya yang telah terlebih dahulu berurat berakar dalam masyarakat .
Golongan kedua, yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi ini adalah golongan marjinal. Baik itu orang tua yang mendapati teknologi tersebut datang di kala usianya menjelang senja, ataupun golongan yang lebih muda, namun mendapat payung budaya yang ketat dari masyarakatnya sehingga keaslian nilai-nilai budayanya masih terus dipegang. Umumnya, golongan ini sulit menyesuaikan diri dengan kehadiran kekerasan tangan besi teknologi dan merasa menjadi sub-ordinat pelengkap dari kemajuan. Terlebih, mereka sering dijadikan contoh masyarakat yang terbelakang, bodoh, belum maju dan beradab, sehingga memojokkan posisinya kesudut. Dari segi intern sendiri, mereka merasa terkucil, teralienasi. Hal yang mengakibatkan mereka membenamkan diri dalam keketatan budaya serta asyik dengan dunianya sendiri, merespon negatif dampak ekspansi teknologi secara umum. Pemikiran ini justru membuat posisinya menjadi semakin marjinal. Nasib malang lainnya, jikalaupun penguasa adat /elit setempat memiliki kepedulian terhadap mereka, hanya menonjokkan motif ekonomi saja, seperti membudayakan tarian-tarian tertentu untuk menyambut tamu, upacara ritual tertentu untuk menolak bala atau mendatangkan kemakmluran sehingga menjadi jajanan wisatawan dan pejabat negara yang ingin melihat sesuatu yang unik dan khas daerah tertentu. Tentu saja, makna tarian dan ritual-ritual tersebut telah hilang dan tidak mempunyai dampak apapun lagi, karena kesakralan religius/ nilainya telah hilang menjadi kesakralan/ nilai materi
Perlu kiranya bagi kita untuk menemukan solusi terhadap permasalahan ini, sehingga jurang pemisah yang terlalu dalam antara teknologi dan budaya mampu bersinergi memajukan budaya lokal. Salah satu respon yang mungkin adalah dengan melakukan perubahan internal budaya itu sendiri. Sudah saatnya budayapun mengalami percepatan sebagaimana hal-hal lainnya yang digembos-gemboskan oleh arus besar teknologi.. budaya bangsa ini perlu mendapatkan nilai-nilai barunya dengan dukungan pemikiran yang sitematis, penuh nilai, dan mampu berdiri sendiri dalam menghadapi angin deras pemikiran yang dibawa oleh teknologi. Pendek kata, penataan internal budaya perlu diawali dengan pemantapan langkah nya dibidang pemikiran, baru kemudian melangkah menuju pengenalan diri dan pengambilan sikap terhadap nilai-nilai teknologi yang turut serta membawa ideologi maupun pemikiran..
Strategi ini semoga mampu membelokkan arus teknologi tersebut dengan tanpa menghilangkan kristalisasi nilai-nilai kepercayaan dalam masyarakat. Jika dapat dijadikan bahan perbandingan, sebagai contoh adalah kebudayaan masyarakat Jawa. Dahulunya, untuk dapat memasukkan suatu kepercayaan agama saja ke dalam masyarakat perlu menyiastinya dengan melakukan akulturasi dengan nilai-nilai animisme masyarakat sekalipun hal tersebut menjadikan kemurnian agama menjadi tercoreng (seperti yang dilakukan oleh para wali songo). Barulah kemudian, secara perlahan budaya tersebut mengambil hal-hal positif dari kepercayaan dan merubahnya dalam kadar tertentu untuk kemudian mendapat pemakaian ulang. Hal ini menyiratkan suatu gerakan dinamis dari suku bangsa tersebut.
Namun, ternyata sikap tersebut tidak sama ketika menghadapi teknologi yang membawa budaya ‘modern’ dibelakangnya. Inilah yang dimaksudkan dengan percepatan diatas. Kita perlu melakukan kristalisasi kembali terhadap nilai-nilai baru tersebut dengan melakukan akulturasi dan pemberian makna-makna yang relavan dan mampu diterima oleh umum serta disambut gembira oleh pemegang saham nilai-nilai asli budaya bangsa ini.
Inilah sejarah bangsa dan budaya kita sebenarnya. Cara ini telah berlaku dalam rentang waktu yang lama dan menyiratkan pemahaman kita yang mendalam menghadapi arus pemikiran dari luar. Bukan dengan mengadopsi secara taqlid buta seperti yang terjadi pada kebanyakan generasi kita belakangan ini. Namun, bukan berarti pula mengajarkan nilai-nilai sukuisme baru dalam bentuk yang merusak.
Tidak bermaksud mengajak sikap yang a priori terhadap teknologi, namun penggerusan yang terjadi yang sedikit banyak dilakukan olehnya perlu disikapi, sehingga identitas bangsa ini tetap bertahan, terlebih demi nilai-nilai budaya yang kita miliki, karena ternyata teknologi ini dari negara asalnya sedang mencari-cari nilai budaya dan kerifan lokal di luar dirinya (artinya budaya-budaya lain) dalam menghadapi keganasan gerakan progressif teknologi (dan pemikiran penyertanya).
Jadi, kita dapat menyumbangkan ciri khas nilai budaya kita sebagai alterntif bagi penyelesaian masalah tersebut. Karena kita mampu untuk bergerak selaras dengan kemajuan pesat teknologi tanpa menghilangkan budaya lokal yang penuh nilai, keserasian dengan alam, saling menghargai antar suku bangsa sesuai dengan ideologi bangsa kita yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini.

Tidak ada komentar: