Rabu, Februari 13, 2008

Relativitas Kedua

Bismillahi ar-rahmaan ar-rahiim
Berikut adalah pandangan saya mengenai pemberhalaan terhadap konsep “tuhan” dalam hati. Kita sebenarnya masing menggunakan pemberhalaan tuhan dalam konsep hubungan. Perangkat yang dituju dalam hal ini adalah hati. Hati yang berfungsi menghasilkan sistem nilai/ moralitas umum, dipakai sebagai jembatan penghubung dalam interaksi. Baik interaksi sesama manusia maupun dalam interaksinya dengan wilayah absolut.

Hati adalah perangkat alat kontrol yang abstrak (bukan benda) yang umum dipakai dalam menghasilkan seperangkat hukum/ etika yang dapat dipakai dalam wilyah manapun.
Dalam bentuk yang kecil, misalnya keluarga, kepala keluarga yang mendapat kewenangan penuh mengontrol tingkah laku dan perilaku individu dalam keluarga menggunakan perangkat hati sebagai standar kebaikan dan etika/ moral yang harus dilaksanakan. Hal ini diyakini akan menghasilkan keselamatan, keseimbangan, dan kebahagiaan. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, hati dapat digunakan sebagai moralitas dasar untuk menentukan hukum, baik masyarakat maupun negara. Semboyannya adalah “berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain” atau “jangan mencubit orang kalau tidak ingin di cubit” (lihat Immanuel Kant).

Kecenderungan untuk menjadikan manusia menjadi absolut umumnya karena hubungan yang ekslusif dan personal antara manusia dan tuhan tidak pernah mendapat kritik. Belum lagi mayoritas meyakini bahwa qalbu/ hati mampu membawa kebenaran yang suci, walaupun belum pernah terjadi pembahasan secara sistematis mengapa hati mampu menunjukkan kebenaran tanpa distorsi apapun.

Terlebih, suara hati seringkali diartikan sebagai suara tuhan yang mengilhami manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam ilmu psiko analisa, kehendak hati merupakan dorongan-dorongan alam bawah sadar yang menuntut perealisasian diri, artinya bahwa kita harus berfikir kritis juga dalam wilayah hati ini. (Beberapa ahli agama/ pemerhati agama, mulai menyebut nilai moral yang dihasilkan oleh hati ini sebagai “nilai-nilai universal” demi mempertahankan diri menghadapi serangan ilmuwan yang mulai merambah wilayah ini.)

Ada contoh konkret dimana seorang ulama yang mendasarkan pemahaman agamanya melalui hati ini; Wahyu Al Qur’an merupakan kitab yang ajaib dan unik. Semua orang dari berbagai disiplin ilmu dan tingkat pemahaman dapat membaca dan berinteraksi secara religius dengan Al Qur’an. Bahkan jika ia tidak dapat menterjemahkan artinya sekalipun, ia tetap mendapatkan nuansa religius yang kuat dalam interaksi ini. Begitupun halnya dengan ulama tersebut.

Ia tidak mendapatkan ilmu dan metodologi tafsir Al Qur’an dan ilmu Hadits yang memadai (karena ia sarjana di bidang lain) tapi ia mampu meyakinkan orang lain bahwa apa yang ia katakan adalah agama. Ia menggunakan perangkat hati dalam pendekatannya dengan yang absolut. Karena yang ia katakan adalah agama, maka kebenaran yang ia paksakan kepada orang lain bersifat mutlak harus diterima dan benar, sebagaimana ia meyakini bahwa tuhan juga mutlak dan benar. Artinya ada sinkronisasi antara pemahamannya dan tuhan. Hal ini menimbulkan kekuasaan, baik itu secara implisit maupun eksplisit.

Ini adalah contoh buruk, tapi umum terjadi, baik itu disadari maupun tidak disadari oleh individu tersebut. Manusia adalah makhluk yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari pengalaman dan semangat zamannya. Artinya, tidak ada manusia yang berada di wilayah netral sehingga kebenaran yang ia dapat (jikalau kebenaran yang ia yakini benar adanya) berlaku untuk semua tempat dan zaman dan dapat diberlakukan untuk semua manusia. Para ulama zaman dahulu pun (yang kita yakini lebih baik keilmuwan agamanya), sering terdistorsi oleh keilmuwan pada zamannya yang jika kita gunakan perangkat keilmuwan masa sekarang akan menonjol sekali kesalahannya.

Kemudian, bagaimana sikap kita? Menurut saya, karena kebenaran yang absolut murni tidak dapat dimiliki makhluk, maka perangkat hati inipun tidak boleh hilang daya relativitasnya. Yang terbaik adalah dialog, mencari sintesis dan tesis dan anti tesis yang kita yakini. Dan karena kebenaran sesuai dengan semangat zaman, maka pintu ijtihad dan pemikiran tidak boleh ditutup dan selalu dilestarikan budaya untuk membuka pikiran dan peluang terhadap sikap-sikap moral baru.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuhu

Tidak ada komentar: