Selasa, Februari 26, 2008

Komentar Untuk Qais

Pastinya sesuatu yang berat adalah sebuah kehilangan. Namun kekosongan dari hal itu tentulah lebih berat lagi. Saya percaya kehilangan hal itu dapat mengakibatkan kegilaaan. Hidup tanpa arah namun hidup harus dijalani, dan ironi mempertemukan energi terbesar kita terkuras untuk hal itu. Saya percaya kehilangan hal itu dapat pula menghilangkan kewarasan, hubungan kekerabatan, mendatangkan kecintaan pada alienasi, dan menikmati hidup secara solitair. Berat dan sulit diterima akal, tetapi pastinya hal itu terasa nikmat, meskipun usaha yang dilakukan hanya membayangkan, tak berani mengucapkan dan menggapainya. Bukankah berjuta-juta contoh telah kita temui dan lihat sepanjang perjalanan pengalaman kita?
Tetapi kegilaan itu tentulah sangat nikmat bukan? Pastinya rasa tercekat di tenggorokan itu ingin terus dirasakan saat pertemuan yang diharapkan terjadi. Tetapi, pertemuan itu tak perlu diiringi dengan banyak kata, karena kata-kata hanya mengaburkan rasa, menyamarkan apa yang dinikmati secara terang. Maka saat pertemuan yang dalam waktu lama telah ditunggu-tunggu hanya terlampiaskan dengan diam pastinya telah dipahami. Perasaan penuh itu mampu meluberi kepala bukan? Menguburkan definisi apapun
Dirinya pasti sangat bijak dengan melakukan hal itu, hal yang tak mampu dipahami oleh orang biasa. Sebuah sikap yang tidak egois sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang awam yang tak paham. Tidak ingin menyakiti dengan sebuah percakapan yang tak perlu dan sentuhan fisik yang datar dan hambar. Hal yang sulit dilakukan oleh orang yang mendongakkan kepala. Maskipun objek tersebut secara jelas memberikan reaksi yang sama.
Sebuah hiburan dari negeri 1001 malam yang melenakan. Tetapi maaf, hidup tidak seperti mimpi orang-orang Arab. Seringkali hal itu tidak pernah menyentuh apa-apa yang telah ditemukan oleh Qais. Bukankah hubungan yang paling sering disalahpahami adalah hubungan antara dua anak manusia yang berlainan jenis? Bravo Nietzsche... by the way, anda boleh menyebut hal itu sebagai cinta.

Senin, Februari 25, 2008

Tentang Cinta

Apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain makian kepada “cinta”? Dan apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain sanjungan dan pujian kepada “percintaan”?
Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa apa yang sering disebut sebagai cinta adalah dorongan primitif dari “id” (dalam terminologi Sigmund Freud) yang memberikan tujuan indah bagi realisasinya secara instingtif dan memberikan gambaran kepuasan hasrat secara maksimum (yang saya pahami). Dan yang lebih buruk lagi, sebaik apapun pikiran sadar kita mampu menyadari dan mengikutinya, dorongan itu tetaplah tidak dapat diredam dan dialihkan secara tuntas ke tempat lain. Sungguh sebuah potensi energi yang akan terbuang sia-sia...
Jikalau aktivitas olah raga, membaca dan hobbi bagi sebagian orang dapat mengelabui dorongan primitif ini, tetap saja potensi kelicikan itu nantinya akan terkuak jika kita mau secara jujur dan objektif melihat keadaan yang sebenarnya. Apakah mungkin trikl-rik pengelabuan yang kita lakukan tadi merupakan bagian partikular dari sebuah kue besar yang kita sebut cinta? Apakah cinta melatarbelakangi setiap gerak?
Menjadi seorang “moralis ideal!” sebagai sebuah sintesis dari dorongan primitif dan pikiran sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud bagi saya tetaplah belum mampu menjawab permasalahan yang sesungguhnya, diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kata cinta ini, baik cinta yang dipahami dan dijalani secara umum, maupun dalam aspek bahasan ilmiah.
Mengapa cinta selalu dibarengi dengan hasrat yang besar? Yang besarnya tak kalah dengan kecintaan itu sendiri? Dan keduanya tak pernah lelah dan habis? Apakah keduanya turunkan dari keabadian? Abadi mana? Cinta atau hasrat? Atau manusia selaku pembawa keduanya? Pembawa atau bagian? Sudahlah, Jangan tanya lagi...

Tentang Kebenaran Dan Nabi (untuk komay.blogspot.com)

Saya pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif selama kebenaran itu bersanding dengan manusia. Bagaimana dengan sosok nabi selaku pembawa kebenaran absolut? Apakah posisi ini mendapat pengecualian?
Sebelumnya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa nabi adalah sosok manusia yang manusiawi, bukan sosok manusia yang ilahi. Hal-hal yang mutlak/ absolut adalah titipan tuhan yang diturunkan kepada nabi. Selama titipan itu masih berada dalam bungkus aslinya (tertutup dari segi pemahaman manusia), maka kebenaran itu tetap menjadi absolut (namun, apa arti benar jika tidak mampu dipahami?). Terlebih, nabi selaku pembawa berita absolut tersebut menyapaikan bentuknya dalam segi uraian atau tulisan, maka ia memasuki dimensi manusia. Karena ia memasuki dunia manusia, maka setiap manusa berhak memberikan interpretasinya masing-masing, karena posisi pemberian makna adalah manusia itu sendiri. Dari sini saja, sudah timbul beragam kebenaran yang tidak absulut yang merupakan turunan dari kebenaran absolut bukan?
Sedangkan sosok nabi yang manusiawi, tidak pernah terlepas dari kecenderungan-kecenderungan yang dimliki oleh manusia pada umumnya. Bukankah nabi pernah mengharamkan madu demi menyenangkan istri-istrinya? Kemudian Allah menegur nabi? Juga bukankah nabi pernah mengabaikan ibnu ummi maktum (seorang buta) yang meminta dakwah selagi nabi sedang berdakwah menghadapi pemuka quraisy? Juga bukankah nabi pernah salah dalam memberikan pendapat tentang tata cara mengawinkan buah kurma?. Itu dalam segi pengetahuan dan politik nabi yang manusiawi, bagaimana dengan sosoknya? Ayolah, tidak mungkin kita memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak berjenggot bahwa ia tidak mengikuti tuntunan rasul hanya karena nabi menyuruh memanjangkan jenggot. Bukankah ini wilayah manusia? Wilayah interpretasi nabi yang memandang baik hal-hal keduniawian?
Saya tidak menyanggah kemampuan nabi selaku subjek pertama (penerima wahtu) untuk mendapat kebenaran yang paling “mendekati” maksud dan keinginan tuhan, saya juga tidak menyanggah kemampuan potensi pribadinya untuk dapat menerima kebenaran absolut dari yang “absolut”. Ini merupakan kemampuan istimewa yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Pada titik ini tentu kita harus mengakui kelebihan nabi. Sebab kalau hal-hal itu dapat dilakukan oleh semua manusia, maka tentu tidak perlu nabi bukan? Walaupun setelah nabi menerima dan menyampaikan wahyu tersebut, setiap mansuisa merasa mampu dan bahkan mencoba melakukannya lebih baik dari nabi. Itu sah-sah saja
Posisi nabi yang saat ini masih saya akui adalah sebagai seorang penyampai. Seperti fungsi lidah (baca: ateisme dalam islam) dalam mulut. Begini penjelasannya: setiap kita mempunyai mulut dan lidah didalamnya bukan? Artinya, setiap kita punya potensi untuk dapat mengucapkan dan berkomunikasi dengan kemampuan itu. Tapi, nabi adalah seorang pencetus penggunaan lidah tersebut bagi banyak orang. Ia memberitahukan fungsi lidah dan apa yang dapat dilakukan olehnya. Baru setelah manusia umum mampu melihat potensi ini, mereka mengembangkannya, bahkan pada tingkat yang sangat maju dan canggih melebihi apa-apa yang telah dilakukan oleh nabi. Tapi tetap, semaju apapun yang telah dilakukan oleh manusia, nabi adalah pencetus, pelopor utama , pembangun pondasi.