Kamis, Maret 06, 2008

Imaginasi

Saya senang diberi kemampuan untuk melakukan imajinasi dalam pikiran. Sangat mengangumkan bagaimana saya mampu merekam apa-apa yang telah saya lihat sebelumnya kemudian melakukan analisa terhadap apa-apa yang telah saya lihat tersebut bahkan jika mungkin saya dapat menemukan sisi pandang baru dalam proses berimajinasi tadi yang tidak saya dapatkan jika saya hanya sekedar melihat saja.

Kita tentu kagum bagaimana mungkin dunia yang begitu besar dapat memenuhi isi kepala tanpa perasaan telah terisi sama sekali, bahkan setiap hari diisi dengan visualisasi apapun tetap tidak pernah merasa penuh.

Kita dapat melihat beberapa manfaat dari fungsi ini. Dengan imajinasi inilah kemudian kita dapat berinteraksi secara lebih baik dari sekedar mengandalkan interaksi sesaat. Dari proses imajinasi inilah kemudian kita dapat memberi makna terhadap keseharian kita.

Bahkan dari segi religius, kita dapat berinteraksi dengan tuhan tanpa harus susah payah mencari sosok-Nya. Setiap kali kita ingin mengetahui dan merasakan keagungan-Nya, kita tinggal berimajinasi dengan alam sekitar. Bahkan rasa kasih tuhan yang begitu dekatpun senantiasa dapat kita rasakan walaupun kedalaman yang kita lakukan melalui interaksi individu ini merambah wilayah manapun dan dengan kedalaman seberapapun.

Saya yakin, bukan hanya kita orang awam yang merasa terbantu dengan proses imajinasi ini, bahkan para ilmuwan pun memerlukan imajinasi ulang untuk mendalami percobaan-percobaan atau ekperimen yang mereka lakukan.

Namun, tetap saja ada sisi buruknya. Kita bisa saja tidak dapat melepaskan ketergantungan pada penghayalan terhadap objek/ seseorang yang kita senangi. Padahal kita tahu persis ia tidak ada didekat kita, atau bahkan diperjalanan yang akan saya tempuh. Tapi saya merasa ia selalu ada. Entah itu didepan, diruangan, di tempat umum, bahkan ia mampir sebelum tidur. Heran, kok yang begini masuk juga…

Tentang Kesulitan Menulis

Terkadang diperlukan waaktu berjam-jam atau berminggu minggu untuk sekedar mendapatkan sebuah tulisan; yang dalam standar penilaian kita masuk kategori "bagus dan menarik", yang jika dibaca oleh orang lain akan segera mendapat sambutan yang baik.

Entah mengapa, kita harus bersandar pada sebuah definisi yang disebut sebagai "ilham". Sebuah makna yang menarik bagi jiwa kita, yang kita percayai datangnya dari luar kemampuan kita, namun tetap berada dalam diri. Bagaimana menjelaskannya dengan kata yang mudah? sesuatu yang dikatakan datang dari luar tetapi ada dalam jiwa?

Saya meragukan engan kebenaran yang ditawarkan oleh sesuatu yang kita sebut sebagai ilham ini. Apakah kedatangnnya tersebut memang sesuatu yang baik secara moral? Dan dapat dipertanggung jawabkan? karena standar moral untuk melakukan validitas kebaikan adalah standar moral yang telah kita miliki. Jikalau bertentangan dengan standar moral kita, biasanya kita akan menyebutnya sebagai sesuatu yang mengandung polemik.

Selain sumbernya yang kita tidak pernah tahu, dan standar kebenarannya adalah kita sendiri, juga datangnnya ilham ini tidak pernah melampuai kemampuan pengetahuan yang kita miliki. Tidak pernah kita mendapati seseorang yang mendapatkan ilham melebihi kemampuan/ kapasitas intelektualnya atau kemampuan daya pikirnya.

Darimana sang ilham ini mengetahui kemampuan daya pikir kita? Apakah ia datang dengan terlebih dahulu melakukan menyesuaikan terhadap pengetahuan yang kita miliki yang kita dapat dari kehidupan sehari-hri? Atau ilham ini adalah sebuah abstraksi kebetulan yang telah dihasilkan dari proses pemikiran acak yang tidak kita sadari?

Mengherankan! Seakan–akan ia mempunyai ritm kehidupan sendiri; yang datangnya seringkali disaat yang tepat dan kedatangannya seakan-akan memang telah kita nanti-nantikan bertahun-tahun lamanya. Sehingga saat ia datang maka mulut kitapun ternganga dan melupakan segala hal lain hanya demi ilham ini.

Sangat membingungkan fenomena ilham ini. Padahal kalaulah saya diberi kemampuan untuk selalu melakukan abstraksi yang baik terhadap apa-apa yang telah saya miliki yang kita sebut sebagai pengetahuan, saya ingin selalu menulis secara periodik. Tanpa menggantungkannya terhadap "ilham" saya ingin menulis seperti halnya saya menarik dan menghembukan nafas. Tidak pernah berhenti…

Senin, Maret 03, 2008

Insting Dan Nalar Dalam Memilih (Tanggapan Untuk Wahyu)

Kita harus berfikir ulang mengenai kecenderungan pilihan yang kita lakukan setiap hari. Apakah kecenderungn piilhan kita terhadap sesuatu itu pilihan nalar atau insting?

Pertama secara instingtif. Perhatikan dari mana timbulnya kesukan kita terhadap sesuatu. Apakah ia timbul dari ketidak sadaran /alam bawah sadar? atau tidak. Sebagai contoh. Dalam sebuah keluarga, tidak pernah terdapat kesamaan terhadap jenis makanan yang sama. Jika sang ibu dan ayah menyukai buah durian, belum tentu sang anak kan memilih buah durian jika ia ditanya apa jenis buah yang disukainya, walaupun ayah dan ibunya telah menjelaskan banyak hal tentang kebaikan dan manfaat buah durian.

Kita mengatakan itu sebagai sebuah pilihan bebas. Tapi bebas dari apa? Apakah kehendak yang timbul tersebut benar-benar bebas? Bukankah justru kita tidak dapat melawan kecendrungan kita untuk menyukai sesuatu dan menuruti kehendak yang kita sendiri tidak pernah tahu dari mana asalnya dan bagaimana menjelaskannya/ tanyakan juga hal itu pada orang yang sedang jatuh cinta. Apakah ia mengatakan itu murni karena pengetahuannya tehadap objek yang dicintainya tanpa naluri instingtif sama sekali? Atau pilihan jalan hidup, cita-cita, bakat seni, dan sebagainya. Sebagian besar kecenderungan ini tidak dapat dikatakan merupakan pilihan sadar. Dorongan tersebut timbulnya secara spontanitas yang mendorong dan memberi kekuatan. Ia memberikan gambaran tentang kesenangan yang akan didapat jika kita melampiaskan keinginan itu. Walaupun tidak semua (insting primitif) itu membawa kebaikan, tetapi harus diakui bahwa insting ini telah membantu kita dalam menentukan pilihan dan memberikan kita beberapa jenis kepuasan yang menyenangkan. Bahkan diantaranya menjadi pilihan tetap meskipun ia tidak mampu menjelaskan mengapa ia memilih hal tersebut.

Adalagi pilihan yang berdasarkan nalar. Hal ini terdengar seperti konsep Plato yang menegaskan bahwa pilihan manusia itu pada dasarnya adalah baik (selama ia memiliki pengetahuan tentang itu) namun jika ia melakukan hal-hal buruk, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya ia tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, karena itu apa yang ia lakukan belum dapat sepenuhnya dikatakan salah.

Jadi, piihan yang dilakukan adalah proses olah pikir yang telah dilakukan oleh Subjek sebelum ia menentukan pilihan. Sebuah cara pandang yang menarik bukan? Namun, jika kita melulu mengandalkan pengetahuan terlebih dahulu sebelum melakukan pilihan, saya khawatir kita akan terlalu sedikit dan selektif dalam melakukan sesuatu, karena kapasitas kemampuan kita melakukan olah informasi tidak dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang luas.

Mungkin jalan yang akan dipilih adalah melakukan musyawarah dan mengajak orang lain urun rembug dalam sebuaah pilihan. Namun tetap, setiap individu yang hadir pun akan melakukan kecendrungan instingnya untuk diajukan sebagai sebuah alternatif yang baik menurut masing-masing personal. Walaupun, tetap saja pilihan keputusan yang diambil nantinya akan disebut sebagai sebuah pilihan nalar.

Anda tertarik untuk mengambil sintesis dari hal diatas? Saya setuju jika begitu, karena kita mempunyai pendapat yang sama untuk sementara. Dan alternatif itu adalah pada sikap waspada. Kita tidak dapat melakukan sikap "harga mati" terhadap sesuatu tanpa dapat terlebih dahulu melakukan nalarisasi terhadap hal-hal baik dan hal-hal buruk terhadap objek "harga mati" itu. kita tidak dapat menerapkan konsep absolut baik dan benar pada pilihan yang kita lakukan karena kita tahu persis kondisi objek pilihan itu. ini menandakn sikap waspada yang terbuka, manusiawi dan pantas.

Atau anda punya konsep lain?

Tuhan Konsep

Pengetahuan tentang Tuhan yang dapat saya lihat adalah akumulasi dari berbagai pengalaman hidup yang dialami dan dimiliki oleh manusia. Proses akumulasi itu kemudian disandarkan pada kata "Absolut" dan ekslusif milik subjek. Dalam hal ini, Tuhan menjadi refleksi pengalaman dan sandaran bagi kumpulan nilai yang telah ia dapat selama hidup.

Mudahnya begini. Jika subjek banyak mengalami perlakuan kasih sayang, perhatian, kebaikan dari keluarga dan lingkungan, maka Tuhan akan menjadi suatu Subjek yang baik, menyenangkan, penuh cinta, Maha memperhatikan dengan kasihnya, dan hal –hal baik lain yang sesuai dengan apa yang sebelumnya ia kenal. Hal-hal inilah yang akan ia bawa dalam pengkonsepan Tuhan yang ia pertahankan dan sebarkan kepada orang lain, karena hal itulah yang benar-benar ia pahami tentang nilai.

Dari sisi lain, jika selama ini ia mengalami penyiksaan, perlakuan kasar, kehidupan keras dalam kepahitan hidup dan embel-embel citra "maskulin" lainya, maka ia akan menggunakan pengalaman yang ia dapat tersebut pada konsep Tuhan. Ia akan lebih mengenal Tuhan sebagai Subjek yang akan memberikan hukuman terhadap kejahatan, memberikan kasih sayang terhadap pemberontakan melawan kejahatan, memberikan kenyamanan hidup dengan kelimpahan makanan dan lainya sebagai respon melawan kerasnya hidup yang pernah ia jalani.

Jika kita buang jauh-jauh konsep Tuhan dengan cara ini, maka kita perlu merumuskan konsep baru tentang Tuhan. Tentang konsep yang mampu menaungi konsep-konsep lain sehingga kita dapat sebuah konsp yang paripurna.

Tapi, jalan tengah yang tampaknya cerdas ini juga membahayakan dan tetap sesat pikir. Jika pada dua contoh sebelumnya dapat kita katakan sebagai bentuk membangun pemberhalaan dalam konsep (dikepala) maka proses ini adalah pembuatan berhala yang lebih besar untuk mengalahkan konsep berhala-berhala kecil sebelumnya. Seperti keadaan Arab pra Islam dengan 360 berhala (berhala kecil) dan Latta atau 'Uzza (untuk berhala besar yang mengalahkan kemampuan berhala-berhala kecil). Jadi, kita diminta untuk melakukan peng-'Uzza-an atau peng-Latta-an baru.

Lalu apakah kita akan "Membuang-Buang Tuhan" seperti yang dikatakan Cak Nun? Atau melihat Tuhan sebagai horizon seperti tokoh Eksistensialisme (Kierkgard?). bagaimana menjadi sosok Ibrahim baru bagi pemberhalaan ini?

Saya setuju saja dengan konsep manapun yang dipakai, karena sejujurnya kita tidak dapat membangun sebuah jembatan kekhusu'an dalam beribadah jika kita tidak memiliki konsep apapun tentang Tuhan. Tetapi, konsep itu tetaplah tidak boleh absolut, karena definisi absolut tidak boleh diberikan kepada Tuhan. Bukankah tuhan terlepas dari semua definisi?

Selasa, Februari 26, 2008

Komentar Untuk Qais

Pastinya sesuatu yang berat adalah sebuah kehilangan. Namun kekosongan dari hal itu tentulah lebih berat lagi. Saya percaya kehilangan hal itu dapat mengakibatkan kegilaaan. Hidup tanpa arah namun hidup harus dijalani, dan ironi mempertemukan energi terbesar kita terkuras untuk hal itu. Saya percaya kehilangan hal itu dapat pula menghilangkan kewarasan, hubungan kekerabatan, mendatangkan kecintaan pada alienasi, dan menikmati hidup secara solitair. Berat dan sulit diterima akal, tetapi pastinya hal itu terasa nikmat, meskipun usaha yang dilakukan hanya membayangkan, tak berani mengucapkan dan menggapainya. Bukankah berjuta-juta contoh telah kita temui dan lihat sepanjang perjalanan pengalaman kita?
Tetapi kegilaan itu tentulah sangat nikmat bukan? Pastinya rasa tercekat di tenggorokan itu ingin terus dirasakan saat pertemuan yang diharapkan terjadi. Tetapi, pertemuan itu tak perlu diiringi dengan banyak kata, karena kata-kata hanya mengaburkan rasa, menyamarkan apa yang dinikmati secara terang. Maka saat pertemuan yang dalam waktu lama telah ditunggu-tunggu hanya terlampiaskan dengan diam pastinya telah dipahami. Perasaan penuh itu mampu meluberi kepala bukan? Menguburkan definisi apapun
Dirinya pasti sangat bijak dengan melakukan hal itu, hal yang tak mampu dipahami oleh orang biasa. Sebuah sikap yang tidak egois sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang awam yang tak paham. Tidak ingin menyakiti dengan sebuah percakapan yang tak perlu dan sentuhan fisik yang datar dan hambar. Hal yang sulit dilakukan oleh orang yang mendongakkan kepala. Maskipun objek tersebut secara jelas memberikan reaksi yang sama.
Sebuah hiburan dari negeri 1001 malam yang melenakan. Tetapi maaf, hidup tidak seperti mimpi orang-orang Arab. Seringkali hal itu tidak pernah menyentuh apa-apa yang telah ditemukan oleh Qais. Bukankah hubungan yang paling sering disalahpahami adalah hubungan antara dua anak manusia yang berlainan jenis? Bravo Nietzsche... by the way, anda boleh menyebut hal itu sebagai cinta.

Senin, Februari 25, 2008

Tentang Cinta

Apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain makian kepada “cinta”? Dan apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain sanjungan dan pujian kepada “percintaan”?
Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa apa yang sering disebut sebagai cinta adalah dorongan primitif dari “id” (dalam terminologi Sigmund Freud) yang memberikan tujuan indah bagi realisasinya secara instingtif dan memberikan gambaran kepuasan hasrat secara maksimum (yang saya pahami). Dan yang lebih buruk lagi, sebaik apapun pikiran sadar kita mampu menyadari dan mengikutinya, dorongan itu tetaplah tidak dapat diredam dan dialihkan secara tuntas ke tempat lain. Sungguh sebuah potensi energi yang akan terbuang sia-sia...
Jikalau aktivitas olah raga, membaca dan hobbi bagi sebagian orang dapat mengelabui dorongan primitif ini, tetap saja potensi kelicikan itu nantinya akan terkuak jika kita mau secara jujur dan objektif melihat keadaan yang sebenarnya. Apakah mungkin trikl-rik pengelabuan yang kita lakukan tadi merupakan bagian partikular dari sebuah kue besar yang kita sebut cinta? Apakah cinta melatarbelakangi setiap gerak?
Menjadi seorang “moralis ideal!” sebagai sebuah sintesis dari dorongan primitif dan pikiran sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud bagi saya tetaplah belum mampu menjawab permasalahan yang sesungguhnya, diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kata cinta ini, baik cinta yang dipahami dan dijalani secara umum, maupun dalam aspek bahasan ilmiah.
Mengapa cinta selalu dibarengi dengan hasrat yang besar? Yang besarnya tak kalah dengan kecintaan itu sendiri? Dan keduanya tak pernah lelah dan habis? Apakah keduanya turunkan dari keabadian? Abadi mana? Cinta atau hasrat? Atau manusia selaku pembawa keduanya? Pembawa atau bagian? Sudahlah, Jangan tanya lagi...

Tentang Kebenaran Dan Nabi (untuk komay.blogspot.com)

Saya pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif selama kebenaran itu bersanding dengan manusia. Bagaimana dengan sosok nabi selaku pembawa kebenaran absolut? Apakah posisi ini mendapat pengecualian?
Sebelumnya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa nabi adalah sosok manusia yang manusiawi, bukan sosok manusia yang ilahi. Hal-hal yang mutlak/ absolut adalah titipan tuhan yang diturunkan kepada nabi. Selama titipan itu masih berada dalam bungkus aslinya (tertutup dari segi pemahaman manusia), maka kebenaran itu tetap menjadi absolut (namun, apa arti benar jika tidak mampu dipahami?). Terlebih, nabi selaku pembawa berita absolut tersebut menyapaikan bentuknya dalam segi uraian atau tulisan, maka ia memasuki dimensi manusia. Karena ia memasuki dunia manusia, maka setiap manusa berhak memberikan interpretasinya masing-masing, karena posisi pemberian makna adalah manusia itu sendiri. Dari sini saja, sudah timbul beragam kebenaran yang tidak absulut yang merupakan turunan dari kebenaran absolut bukan?
Sedangkan sosok nabi yang manusiawi, tidak pernah terlepas dari kecenderungan-kecenderungan yang dimliki oleh manusia pada umumnya. Bukankah nabi pernah mengharamkan madu demi menyenangkan istri-istrinya? Kemudian Allah menegur nabi? Juga bukankah nabi pernah mengabaikan ibnu ummi maktum (seorang buta) yang meminta dakwah selagi nabi sedang berdakwah menghadapi pemuka quraisy? Juga bukankah nabi pernah salah dalam memberikan pendapat tentang tata cara mengawinkan buah kurma?. Itu dalam segi pengetahuan dan politik nabi yang manusiawi, bagaimana dengan sosoknya? Ayolah, tidak mungkin kita memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak berjenggot bahwa ia tidak mengikuti tuntunan rasul hanya karena nabi menyuruh memanjangkan jenggot. Bukankah ini wilayah manusia? Wilayah interpretasi nabi yang memandang baik hal-hal keduniawian?
Saya tidak menyanggah kemampuan nabi selaku subjek pertama (penerima wahtu) untuk mendapat kebenaran yang paling “mendekati” maksud dan keinginan tuhan, saya juga tidak menyanggah kemampuan potensi pribadinya untuk dapat menerima kebenaran absolut dari yang “absolut”. Ini merupakan kemampuan istimewa yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Pada titik ini tentu kita harus mengakui kelebihan nabi. Sebab kalau hal-hal itu dapat dilakukan oleh semua manusia, maka tentu tidak perlu nabi bukan? Walaupun setelah nabi menerima dan menyampaikan wahyu tersebut, setiap mansuisa merasa mampu dan bahkan mencoba melakukannya lebih baik dari nabi. Itu sah-sah saja
Posisi nabi yang saat ini masih saya akui adalah sebagai seorang penyampai. Seperti fungsi lidah (baca: ateisme dalam islam) dalam mulut. Begini penjelasannya: setiap kita mempunyai mulut dan lidah didalamnya bukan? Artinya, setiap kita punya potensi untuk dapat mengucapkan dan berkomunikasi dengan kemampuan itu. Tapi, nabi adalah seorang pencetus penggunaan lidah tersebut bagi banyak orang. Ia memberitahukan fungsi lidah dan apa yang dapat dilakukan olehnya. Baru setelah manusia umum mampu melihat potensi ini, mereka mengembangkannya, bahkan pada tingkat yang sangat maju dan canggih melebihi apa-apa yang telah dilakukan oleh nabi. Tapi tetap, semaju apapun yang telah dilakukan oleh manusia, nabi adalah pencetus, pelopor utama , pembangun pondasi.