Sabtu, Februari 16, 2008

Lucu

Pernah mengalami perasaan sakit hati dan menggelikan dalam satu peristiwa? Pertanyaan ini saya ajukan kepada seseorang yang saya kagumi kemampuan intelektualnya, keagamaannya, kerapihannya dan keindahan fisiknya. “Begitulah hidup” jawabnya. Menurutnya hidup yang dijalani ya seperti itulah seharusnya dan biasanya terjadi. Mengalami kontrasitas yang ironi. Disaat keinginan yang besar mendorong dan memberi kekuatan pada saat itu pula keinginan tersebut terpatahkan karena realitas yang diharapkan tidak terjadi dan penolakan terhadap keinginan anda menjadi. Bukankah itu merupakan sebagian dari faktor-faktor rasa sakit hati. Apakah kita akan mengikuti himbauan para filsuf yang berkata bahwa rasa sakit timbul dari keinginan manusia? Maka untukmenghilangkan rasa sakit tersebut kita harus menghilangkan segala keinginan. Kemudian apa? Anda ingin menjadi makhluk religius (dalam bentuk pelarian yang tidak sehat) ? Menganut paham nihilisme? Atau eksistensialisme?
Saya punya sudut pandang sendiri yang berbeda dengannya. Dengan sosok yang saya kagumi tersebut. Saya mencoba untuk melihat dengan cara pandang yang lebih jauh (setidaknya menurut saya) dari sudut pandang yang lebih ceria. Bagi saya, rasa sakit yang timbul dari adanya penolakan terhadap keinginan besar tersebut adalah salah satu bentuk “tolakan” yang mendorong kita untuk melihat lebih jauh dan lebih tnggi sehingga dapat melihat hikmah (setidaknya begitu menurut saya) dari adanya penolakan tersebut. Mungkin sekali penolakan tersebut ternyata adalah baik bagi kita, mungkin juga kita tidak menyadari bahwa jika keinginan tersebut terlaksana maka akan berakibat buruk dan mendatangkan musibah. Namun, itu kurang rasional, lebih cenderung bersifat regresi (penolakan terhadap kenyataan dengan mencari alasan-alasan yang cukup masuk akal namun kurang didukung fakta).
Menurut saya, yang rasional adalah mencari timbangan-timbangan yang rasional dengan mencari terlebih dahulu fakta-fakta pendukung yang mengakibatkan peristiwa penolakan tersebut terjadi. Hal ini memang membutuhkan kerja keras dan kerja pikir yang cukup melelahkan namun efektif guna dalam mencari jawaban terhadap ketidakpuasan yang timbul tersebut. Bahkan bisa saja peristiwa tersebut dilihat dari sudut pandang “tuhan”. Mungkin sekali tuhan ingin menunjukkan salah satu bentuk kuasanya kepada manusia. Bukankah Tuhan pernah berfirman tentang hal ini, dimana “Saat padi-padi/ hasil bumi tersebut telah menguning dan siap panen (sehingga menyenangkan penanamnya), maka Tuhan menjadikan kebanggaan tersebut menjadi hangus keesokan harinya seakan-akan tidak pernah ditanam apa-apa, dan manusia berkata: celakalah aku” hal itu karena sebelumnya ia berkata “Sesungguhnya hasil panenku tahun ini begitu melimpah, aku tidak melihat satu faktorpun yang mampu menandingi hasil panenku tahun ini”. Inilah peringatan Tuhan, dan Tuhan ingin mengembalikan hamba-Nya yang lupa tersebut kepada-Nya.
Jika sudut pandang itu yang kita pilih, maka tentu peristiwa tersebut menjadi sakit dan menggelikan bukan? Tuhan sedang bermain-main dengan kesombongan. Manusia menjadi sombong dengan kemampuannya, dan Tuhan bermain dengan kesombongannya dengan menunjukkan kuasanya. Dan karena tuhan yang lebih berkuasa, maka manusiayang kalah.
Anda ingin tahu dari mana pertanyan diatas timbul? Sejujurnya pertanyaan itu datang beberapa waktu setelah saya mengalami penolakan dari orang yang saya kagumi tersebut saat saya mengutarakan kekaguman saya padanya....

Jumat, Februari 15, 2008

Bagaimana Cara Yang Tepat Dalam Memahami Isi Al Qur’an Agar Mampu Mengikuti Perkembangan Sains Dan Perubahan Sosial

Menurut saya, sangat kecil kemungkinannya kita mampu memahami dan mengamalkan isi ajaran al qur’an secara pasti tepat kecuali pada masa Nabi saw masih hidup. Bahkan, pada zaman Nabi saw sekalipun ia mengajarkan untuk menggunakan ilmu pada daerahnya masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam hadits:
Antum a’lamu min ‘umurid dunyakum
“Kalian lebih mengetahui urusan duniamu”
Juga:
“Barangsiapa yang menginginkan akhirat menggunakan ilmu, barangsiapa yang menginginkan dunia juga menggunakan ilmu, barangsiapa yang menginginkan keduanya juga menggunakan ilmu”
Hal tersebut diatas mengisyaratkan bagi kita untuk membicarakan masalah keduniaan pada ahlinya. Jadi, kurang tepat dikala ahli agama/ ‘ulama berbicara mengenai sains dan perubahan sosial. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika ada ahli agama/ ‘ulama menguasai sains dan perubahan sosial kemudian menerapkan pengetahuannya tersebut di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Hanya perlu diingat, sebagai mana yang telah dibahas sebelumnya bahwa sains dan perubahan sosial bersifat tidak mutlak benar sebagaimana Al Qur’an, maka penafsiran tersebut bersifat tidak tetap dan tidak mutlak benar. Kebenaran penafsirannya hanya berlaku pada zamannya. Zaman dimana sains dan perubahan sosial tersebut masih relevan dan diakui serta dianut oleh masyarakat pada periode tersebut.
Subjektifitas keilmuwan dimiliki oleh mufassir tentunya amat relevan hanya pada masa ilmu yang dimilikinya masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Untuk itu, saya menolak pertanyaan pada bahasannya ini yang menginginkan cara yang tepat agar penafsiran Al Qur’an dapat mengikuti perkembangan sains dan perubahan sosial budaya. Tidak ada cara yang tepat secara pasti. Yang ada hanyalah penafsiran yang bergantung pada situasi keilmuwan dan hidup kemasyarakatan yang berlaku pada masa mufassir hidup.
Sebagai contoh jika kita ingin membandingkan konsepsi fisika tentang penciptaan alam itu dengan ajaran Al Qur’an, dapatlah dikutip buku karangan Prof. Achmad Baiquni M.Sc, Ph.D yang berjudul: Al Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam ayat 30 surat Al Anbiya:
“Artinya: Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya itu”
Menurutnya, keterpaduan ruang dan materi seperti dinyatakan di dalam ayat itu hanya dapat kita pahami jika keduanya berada di satu titik; singuralitas fisis yang merupakan volume yang berisi seluruh materi. Sedangkan pemisahan mereka terjadi dalam suatu ledakan dasyat atau dentuman besar yang melontarkan materi ke seluruh penjuru ruang alam yang berkembang dengan sangat cepat sehingga tercipta universum yang berekspansi.
Terlihat dalam contoh diatas bahwa Achmad Baiquni mencoba memadukan ilmu pengetahuan modern tentang penciptaan alam dengan Al Qur’an. Hal ini berisi penegasan yang cukup padat, bahwa ia seorang ilmuwan yang Islami. Walaupun tidak disertai sanggahan terhadap ilmu pengetahuan tentang penciptaan alam yang lainnya, namun jelas terlihat bahwa ia terpengaruh oleh ilmu pengetahuan alam yang populer, sehingga mempengaruhinya dalam menafsirkan Al Qur’an.

Antara Percepatan Teknologi dan Budaya

Teknologi yang semula dipuja sebagai langkah maju peradaban manusia yang mengantarkannya menuju peradaban tinggi, ternyata menyisakan masalah. Hal ini karena teknologi ternyata tidak murni dan netral, tetapi membawa serta pemikiran-pemikiran dan ideologi penyertanya yang justru mengekspansi nilai-nilai asli budaya bangsa melalui ideologi-iodeologi dan sistem berfikir, sebut saja sekularisme, humanisme da materialisme.
Tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari aspek teknolgi yang dituding paling andil menghasilkan produksi yang melimpah dalam banyak bidang. yang ternyata tidak saja menghantam ekologi dan makhluk hidup berupa hancurnya spesies-spesies hidup, tetapi melihat sisi kehancuran kebudayaan bangsa yang berlangsung secara perlahan namun berjalan dengan langkah mantap dan berpotensi meluluhlantakkan.
Setidaknya, terdapat dua golongan besar yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh manusia ini, khususnya dari Barat.
Golongan pertama, adalah masyarakat umum yang terpengaruh secara langsung dan berperan aktif dalam kemajuan ini. Jika dikategorikan secara umum, terdapat tiga kelompok reaksi. Kelompok pertama, adalah masyarakat umum yang terkaget-kaget dengan ekspansi teknologi yang ada. Hal ini mengakibatkan golongan ini mengadopsi secara buta dan menganggap hal ersebut sebagai sebuah kemajuan yang membanggakan, karena dapat menaikkan status diri di masyarakat dan membantunya menikmati fasilitas hidup. Kelompok kedua, adalah golongan pelajar yang mendapat pendidikan kurang matang sehingga menimbulkan sikap pragmatis. Lulusan-lulusan ini umumnya menjadi ‘users pasif’ atau pengguna serta operator dari kemajuan tersebut, dan menganggap apa yang dilakukannya adalah hebat dan terpandang, lebih tinggi kedudukannya dari golongan satu. Motif utama yang melatar belakangi kelompok ini umumnya adalah ekonomi. Kelompok ketiga, adalah para cendekiawan dan budayawan serta pemerhati lainnya, khususnya bidang budaya. Pada tingkatan ini, para pemerhati dampak teknologi mampu melihat sisi-sisi kelemahan dari teknologi yang yang dianggap sebagai panglima perang peradaban. Suatu bangsa telah mendapat nilai-nilai standar kemajuan yang ditentukan oleh bangsa lain dan pemikiran tertentu. Tentu saja hal ini mengakibatkan tergerusnya budaya lokal dan kebijaksanaannya yang telah terlebih dahulu berurat berakar dalam masyarakat .
Golongan kedua, yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi ini adalah golongan marjinal. Baik itu orang tua yang mendapati teknologi tersebut datang di kala usianya menjelang senja, ataupun golongan yang lebih muda, namun mendapat payung budaya yang ketat dari masyarakatnya sehingga keaslian nilai-nilai budayanya masih terus dipegang. Umumnya, golongan ini sulit menyesuaikan diri dengan kehadiran kekerasan tangan besi teknologi dan merasa menjadi sub-ordinat pelengkap dari kemajuan. Terlebih, mereka sering dijadikan contoh masyarakat yang terbelakang, bodoh, belum maju dan beradab, sehingga memojokkan posisinya kesudut. Dari segi intern sendiri, mereka merasa terkucil, teralienasi. Hal yang mengakibatkan mereka membenamkan diri dalam keketatan budaya serta asyik dengan dunianya sendiri, merespon negatif dampak ekspansi teknologi secara umum. Pemikiran ini justru membuat posisinya menjadi semakin marjinal. Nasib malang lainnya, jikalaupun penguasa adat /elit setempat memiliki kepedulian terhadap mereka, hanya menonjokkan motif ekonomi saja, seperti membudayakan tarian-tarian tertentu untuk menyambut tamu, upacara ritual tertentu untuk menolak bala atau mendatangkan kemakmluran sehingga menjadi jajanan wisatawan dan pejabat negara yang ingin melihat sesuatu yang unik dan khas daerah tertentu. Tentu saja, makna tarian dan ritual-ritual tersebut telah hilang dan tidak mempunyai dampak apapun lagi, karena kesakralan religius/ nilainya telah hilang menjadi kesakralan/ nilai materi
Perlu kiranya bagi kita untuk menemukan solusi terhadap permasalahan ini, sehingga jurang pemisah yang terlalu dalam antara teknologi dan budaya mampu bersinergi memajukan budaya lokal. Salah satu respon yang mungkin adalah dengan melakukan perubahan internal budaya itu sendiri. Sudah saatnya budayapun mengalami percepatan sebagaimana hal-hal lainnya yang digembos-gemboskan oleh arus besar teknologi.. budaya bangsa ini perlu mendapatkan nilai-nilai barunya dengan dukungan pemikiran yang sitematis, penuh nilai, dan mampu berdiri sendiri dalam menghadapi angin deras pemikiran yang dibawa oleh teknologi. Pendek kata, penataan internal budaya perlu diawali dengan pemantapan langkah nya dibidang pemikiran, baru kemudian melangkah menuju pengenalan diri dan pengambilan sikap terhadap nilai-nilai teknologi yang turut serta membawa ideologi maupun pemikiran..
Strategi ini semoga mampu membelokkan arus teknologi tersebut dengan tanpa menghilangkan kristalisasi nilai-nilai kepercayaan dalam masyarakat. Jika dapat dijadikan bahan perbandingan, sebagai contoh adalah kebudayaan masyarakat Jawa. Dahulunya, untuk dapat memasukkan suatu kepercayaan agama saja ke dalam masyarakat perlu menyiastinya dengan melakukan akulturasi dengan nilai-nilai animisme masyarakat sekalipun hal tersebut menjadikan kemurnian agama menjadi tercoreng (seperti yang dilakukan oleh para wali songo). Barulah kemudian, secara perlahan budaya tersebut mengambil hal-hal positif dari kepercayaan dan merubahnya dalam kadar tertentu untuk kemudian mendapat pemakaian ulang. Hal ini menyiratkan suatu gerakan dinamis dari suku bangsa tersebut.
Namun, ternyata sikap tersebut tidak sama ketika menghadapi teknologi yang membawa budaya ‘modern’ dibelakangnya. Inilah yang dimaksudkan dengan percepatan diatas. Kita perlu melakukan kristalisasi kembali terhadap nilai-nilai baru tersebut dengan melakukan akulturasi dan pemberian makna-makna yang relavan dan mampu diterima oleh umum serta disambut gembira oleh pemegang saham nilai-nilai asli budaya bangsa ini.
Inilah sejarah bangsa dan budaya kita sebenarnya. Cara ini telah berlaku dalam rentang waktu yang lama dan menyiratkan pemahaman kita yang mendalam menghadapi arus pemikiran dari luar. Bukan dengan mengadopsi secara taqlid buta seperti yang terjadi pada kebanyakan generasi kita belakangan ini. Namun, bukan berarti pula mengajarkan nilai-nilai sukuisme baru dalam bentuk yang merusak.
Tidak bermaksud mengajak sikap yang a priori terhadap teknologi, namun penggerusan yang terjadi yang sedikit banyak dilakukan olehnya perlu disikapi, sehingga identitas bangsa ini tetap bertahan, terlebih demi nilai-nilai budaya yang kita miliki, karena ternyata teknologi ini dari negara asalnya sedang mencari-cari nilai budaya dan kerifan lokal di luar dirinya (artinya budaya-budaya lain) dalam menghadapi keganasan gerakan progressif teknologi (dan pemikiran penyertanya).
Jadi, kita dapat menyumbangkan ciri khas nilai budaya kita sebagai alterntif bagi penyelesaian masalah tersebut. Karena kita mampu untuk bergerak selaras dengan kemajuan pesat teknologi tanpa menghilangkan budaya lokal yang penuh nilai, keserasian dengan alam, saling menghargai antar suku bangsa sesuai dengan ideologi bangsa kita yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini.

Tentang Keseimbangan

Pernah dengar tentang konsep “mizan”? Bahwa sesungguhnya Tuhan telah menciptakan mizan dalam dunia ini. Mizan yang dimaksud adalah takaran, atau ukuran, atau keseimbangan. Jadi, ada titik tertentu dimana jika segala ciptaan mengalami sebuah extrimitas tertentu, maka akan terjadi sebuah peristiwa dengan ekstrimitas serupa namun dengan arah yang berlawanan. Hukum ini juga telah dikemukakan oleh Newton dengan hukum keseimbangan universalnya.
Berikut beberapa peristiwayang mungkin pernah terjadi pada diri kita yang berhubungan dengan konsep keseimbangan tersebut. Yang pertama; mungkin kita pernah menyukai lawan jenis dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi. Segala upaya yang kita punya telah kita keluarkan untuk menunjukkan bahwa kita memiiki perasaan yang serius dan tidak main-main dalam hal percintaan. Bukan hanya perasaan yang tercurah secara maksimum, namun juga pikiran, tenaga, bahkan materi/ harta yang kita miliki telah kita keluarkan secara maksimal untuk mendapatkan hal dimaksud. Namun, pada umumya usaha yang seperti itu mendapatkan reaksi dengan ekstrimitas serupa namun berlawanan, yaitu ditolak! Bahkan mungkin disertai dengan rasa jijik dan menjemukan. Pendek kata, anda tidak mendapatkan keinginan anda dengan tingkat ekstrimitas yang berlebihan.
Jika anda tipe yang cepat putus asa, mungkin anda tidak berfkitr mengapa hal ini terjadi, bukankah anda merasasudah melakukan yang terbaik dan yang terbaik pula yang anda tampilkan kepada pasangan anda. Mungkin berikutnya anda akan melakukan beberapa reaksi berlebihan lagi untuk mengimbangi rasa sakit yang berlebihan karena penolakan yang dilakukan pujuaan hati anda. Bisa jadi pelarian anda adalah mabuk, kekerasan, atau menyiksa diri dalam kamar, dan sebagainya ( anda yang lebih paham).
Dalam kasus diatas, berlaku jika anda ditolak, bagaimana jika anda diterima oleh pasangan anda?. mungkin anda akan merasa senang pada awal mula percintaan anda. Tetapi, seperti teori bola bandul, anda harus kembali kepada titik keseimbangan anda. Akan terjadi beberapa kekecewaan besar pada anda dengan rasa cinta anda yang berlebihan tersebut. Bisa jadi hal tersebut adalah: pasangan anda ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan anda diluar penerimaan cintanya. Bisa jadi ia kemudian pemalasnya minta ampun, atau cueknya minta ampun.
Apa yang seharusnya kita lakukan? Mungkin ada baiknya jika kita mulai bertindak pada porsi yang seimbang. Mulailah berpikir dan bernafsu secara seimbang, bergerak dengan penuh perhitungan dan reaksi yang cukup untuk menanggapi sikap/ perilaku sosok cinta anda. Berperilaku secara seimbang mampu membuat diri dan jiwa anda lebih sehat dan lebih dewasa.
Atau ada lagi contoh lain yang sedikit religius. Setiap kita mungkin sekali pernah mengalami peristiwa hidup yang masuk kategori cukup “berat”. Permasalahan yang dihadapi terasa sangat menyentuh jiwa anda, menguras tenaga dan pikiran anda, bahkan mungkin berpotensi membuat anda jadi gila!. Bisa saja peristiwa itu kecelakaan, putus nya hubungan dengan yang dcintai, anda dicari pihak berwajib, dan lainnya. Setiap waktu anda dihantui oleh perasaan tersebut, bahwa peristiwa yang ada alami merupakan peristiwa yang terbesar dan terberat bagi anda, bahkan rasanya tidak ada peristiwa lain yang lebih berat dari hal tersebut, sehingga apa yang dialami oleh orang lain menjadi sepele. Pendek kata, hanya masalah kita saja yang paling berat, paling hebat, paling menguras tenaga dan paling patut untuk diperhatikan.
Saat anda menuju ekstrimitas tersehut, anda butuh tempat pelarian yang berlawanan untuk mengimbangi perasaan takut anda tersebut. Tempat pelarian yang mampu memberikan ketenangan sebesar ketakutan anda sehingga anda merasa tersirami dengan kesejukan, kedamaian dan ketenangan setelah sebelumnya anda dihinggapi perasaan takut, tidak tenang dan gelisah. Mungkin anda akan berlari menuju agama. Setiap waktu anda habiskan untuk berdzikir, tiap malam anda bangun dengan kesiapan penuh dan pengharapan yang luar biasa tehadap Tuhan.
Namun, titik keseimbangan itu harus terjadi, bisa saja anda akan menemui kendala lagi/ masalah lain yang mengguncang pemahaman anda terhadap agama. Apa sebab? Karena anda beragama dengan cara yang tidak sehat. Bisa saja anda kemudian menuntut bertemu Tuhan, mendapatkan wahyu, dan hal-hal ekstrem lain yang tidak mungkin terjadi kecuali Tuhan menciptakan mukjizat baru dimana hal itu khusus terjadi pada diri anda. Karena keinginan anda tidak terjawab, maka keyakinan anda akan goyah, anda mulai mempertanyakan keabsahan doktrin agama yang selama ini anda pegang dan yang anda yakini.
Dalam beberapa kasus, mungkin sekali akan menjadi sebuah ekstrimitas baru didunia agama. Anda akan mulai menyalahkan sikap keagamaan orang lain, bahkan mungkin para ulama dan sarjana-sarjna agama akan anda kritik habis-habisan. Jadi, anda bergerak dari satu ekstrimitas yang satu menuju ekstrimitas yang lain. Jika ini yang terjadi, bersiaplah untuk selamanya anda merasa tidak tenang, tidak nyaman dan tidak bisa menikmati hidup.
Bukan berarti saya tidak menyukai keseriusan anda / orang lain dengan sikap ekstrim tersebut. Hanya, jangan sampai sikap tersebut justru menututp akal sehat kita yang kemudian menimbulkan konflik baru dengan lingkungan setelah sebelumnya kita melakukan hal yang sama (konflik) pada hal lain.
Saya setuju dengan konsep hedonis. Bukan dalam konsep hedonisme yang sekarang umum dipahami, tetapi hedon sebagai sebuah konsep keseimbangan. Begini kira-kira: untuk menikmati hidup ini, anda harus memiliki badan yang sehat. Karena badan sehat adalah sebuah kebutuhan untuk menikmati hidup, maka kita harus menjaga agar tubuh ini selalu sehat, maka perilaku yang buruk seperti begadang, tidak pernah berolah raga, mabuk-mabukan, dan perilaku menyimpang lainnya jangan dilakukan, karena anda akan menjadi sakit, menyakiti orang lain dan lingkungan dan pada jangka panjang anda tidak mampu menikmati hidup. Inilah konsep hedonis yang saya maksud dan saya ingini.

Tentang Ideal

Dalam menjalani hidup, manusia mencari nilai-nilai ideal dalam hidupnya dalam keseharian hidup yang dijalani. Dalam perjalanannya tersebutlah kemudian ia menemukan nilai-nilai ideal yang dianggap cocok untuk mewakili identits diri dan keinginnannya terhadap sebuah manusia ideal/ sempurna. Nilai –nilai ini kemudian dilestarikan dan dipertahankan sebagai bagian dari dirinya dan paling mewakili dirinya. Nilai-nilai tersebut pula yang menjadi filter dan pedoman terhadap nilai-nilai lain yang datang kemudian atau mencoba untuk menggerus kemapanan dirinya yang sedang mencari eksistensi.
Sebagai contoh: nilai-nilai terhadap sosok ideal dan sosok pasangan ideal. Tiap kita tentu memiliki konsep tersendiri terhadap pakaian, bentuk tubuh, kepedulian terhadap wacana tertentu, perilaku tertentu terhadap orang lain. Sertiap kita tentu menggunakan nilai-nailai tertentu untuk menghadapi orang lain dengan menggunakan nilai-nilai yang kita percayai “baik”. Karena nilai-niliai tersebut kita pedomani, otomatis kita membiasakan diri terhadap penggunaan nilai tersebut. Kita ingin orang lain menganggap diri kita sebagai sosok yang seperti “itulah”. Seperti yang kita tampilkan kepada orang lain tersebut.
Namun tak dapat dipungkiri, tidak semua nilai ideal yang kita miliki dapati kita laksanakan semua. Tidak semua hal-hal baik yang kita senangi dapat kita lakukan dan terapkan untuk diri kita sendiri. Dari situ timbullah pengalihan nilai-nilai ideal yang kita senangi kepada orang lain. Sosok tersebut bisa orang tua, teman, sahabat, bahkan pasangan hidup yang kita ingin harus berada dalam kerangkan “ideal” yang kita miliki.
Hal itu sah-sah saja, karena dengan begitu kita telah menunjukkan eksistensi diri kita yang berbeda terhadap orang lain. Cara pandang kita sendiri yang unik (yang sebenarnya cara pandang/ nilai-nilai tersebut kita dapatkan dari orang orang-orang disekeliling kita namun telah mengalami penyesuaian dan “modifikasi yang paling pas” dengan selera kita). Eksistensi ini lah yang menjadikan diri kita punya nilai, punya harga diri, punya martabat dan punya “karakter”
Dari sini timbullah “clash”/ konflik terhadap lingkungan, terhadap orang lain, terhadap cara pandang yang dimiki orang lain. Orang yang tidak dapat melihat persoalan dengan jernih, akan memaksakan nilai-nilai dari dirinya kepada semua hal yang dihadapinya dan tidak dapat melihat bahwa cara pandang lain masuk katergori yang juga “benar”. Jika kita mau berfikir ulang (seperti yang disebutkan diatas), sebenarnya cara pandang kita ditentukan oleh lingkungan keseharian, maka, cara pandang orang lainpun diciptakan oleh dirinya baik sadar maupun tidak melalui interaksinya dengan lingkungan hidupnya pula. Dan apa yang ia lakukan dalam kesehariannya (cara pandangnnya) merupakan benar dan unik untuk dirinya dan paling pas baginya. Maka, konflik ini tidak akan menjadi lebar jika mampu dipahami dari sudut pandang ini.
Kembali kepada sosok ideal. Penyesuaian sosok ideal yang kita miliki umumnya mendapat tekanan dari kita (berupa pemaksaan) kepada orang yang kita harapkan paling mampu untuk melaksanakannya.. ambil saja contoh kekasih yang didambakan. Jika kita termasuk orang yang memperhatikan penampilan, maka yang paling mungkin sosok yang kita ingini adalah yang juga memperhatikan penampilan, tidak jorok atau “slenge’an” dan tahu kesopanan. Jika kita rajin berolah raha atau memakai pakaian yang slim/ agak seksi / macho, maka paling mungkin kita menginginkan sosok kekasihyang seksi, tidak gemuk atau terlalu kurus dengan proporsi badan yang seimbang, begitu seterusnya. Secara singkat, sosok ideal yang kita ingini adalah cerminan dari perilaku keseharian kita. Hal ini mungkin dapat bermanfaat jika anda mencari sosok pasangan ideal (jika anda masih sendiri...) kenalilah dulu dan pelajari seperti apa kesehariannya, maka anda dapat melihat kriteria sosok idamannya. Jadi anda punya perhitungan jika ingin mendekati lawan jenis, tidak main “gerabak-gerubuk” langsung tembak.
At last, tidak semua dan tidak mungkin semua hal dalam idealisme anda dapat terlaksana dan terealisasikan semuanya. Anda harus realistis, karena dunia ini tidak mungkin melaksanakan semua keinginnan anda, meskipun anda punya kekuasaan dan harta yang banyak untuk memaksakan semuanya terjadi. Setiap kita memiliki cara pandang / idealisme masing-masing dan setiap kita bergerak menuju arah aktual untuk merealisasikan potensialitas nilai-nilai ideal yang dimiliki. Bukan salah kita jika benturan terjadi, karena memng begitulah hidup, bahkan dengan benturan-benturan tersebut kita menjadi punya standar hidup yang paling mungkin. Paling mungkin untuk dilaksanakan (karena semua potensi tersedia) dan paling tidak mungkin (karena potensi untuk melaksanakannya tidak anda miliki). Salam

Note: niliai adalah pemahaman yang diyakini (baik benar maupun salah)

Rabu, Februari 13, 2008

Relativitas Kedua

Bismillahi ar-rahmaan ar-rahiim
Berikut adalah pandangan saya mengenai pemberhalaan terhadap konsep “tuhan” dalam hati. Kita sebenarnya masing menggunakan pemberhalaan tuhan dalam konsep hubungan. Perangkat yang dituju dalam hal ini adalah hati. Hati yang berfungsi menghasilkan sistem nilai/ moralitas umum, dipakai sebagai jembatan penghubung dalam interaksi. Baik interaksi sesama manusia maupun dalam interaksinya dengan wilayah absolut.

Hati adalah perangkat alat kontrol yang abstrak (bukan benda) yang umum dipakai dalam menghasilkan seperangkat hukum/ etika yang dapat dipakai dalam wilyah manapun.
Dalam bentuk yang kecil, misalnya keluarga, kepala keluarga yang mendapat kewenangan penuh mengontrol tingkah laku dan perilaku individu dalam keluarga menggunakan perangkat hati sebagai standar kebaikan dan etika/ moral yang harus dilaksanakan. Hal ini diyakini akan menghasilkan keselamatan, keseimbangan, dan kebahagiaan. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, hati dapat digunakan sebagai moralitas dasar untuk menentukan hukum, baik masyarakat maupun negara. Semboyannya adalah “berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain” atau “jangan mencubit orang kalau tidak ingin di cubit” (lihat Immanuel Kant).

Kecenderungan untuk menjadikan manusia menjadi absolut umumnya karena hubungan yang ekslusif dan personal antara manusia dan tuhan tidak pernah mendapat kritik. Belum lagi mayoritas meyakini bahwa qalbu/ hati mampu membawa kebenaran yang suci, walaupun belum pernah terjadi pembahasan secara sistematis mengapa hati mampu menunjukkan kebenaran tanpa distorsi apapun.

Terlebih, suara hati seringkali diartikan sebagai suara tuhan yang mengilhami manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam ilmu psiko analisa, kehendak hati merupakan dorongan-dorongan alam bawah sadar yang menuntut perealisasian diri, artinya bahwa kita harus berfikir kritis juga dalam wilayah hati ini. (Beberapa ahli agama/ pemerhati agama, mulai menyebut nilai moral yang dihasilkan oleh hati ini sebagai “nilai-nilai universal” demi mempertahankan diri menghadapi serangan ilmuwan yang mulai merambah wilayah ini.)

Ada contoh konkret dimana seorang ulama yang mendasarkan pemahaman agamanya melalui hati ini; Wahyu Al Qur’an merupakan kitab yang ajaib dan unik. Semua orang dari berbagai disiplin ilmu dan tingkat pemahaman dapat membaca dan berinteraksi secara religius dengan Al Qur’an. Bahkan jika ia tidak dapat menterjemahkan artinya sekalipun, ia tetap mendapatkan nuansa religius yang kuat dalam interaksi ini. Begitupun halnya dengan ulama tersebut.

Ia tidak mendapatkan ilmu dan metodologi tafsir Al Qur’an dan ilmu Hadits yang memadai (karena ia sarjana di bidang lain) tapi ia mampu meyakinkan orang lain bahwa apa yang ia katakan adalah agama. Ia menggunakan perangkat hati dalam pendekatannya dengan yang absolut. Karena yang ia katakan adalah agama, maka kebenaran yang ia paksakan kepada orang lain bersifat mutlak harus diterima dan benar, sebagaimana ia meyakini bahwa tuhan juga mutlak dan benar. Artinya ada sinkronisasi antara pemahamannya dan tuhan. Hal ini menimbulkan kekuasaan, baik itu secara implisit maupun eksplisit.

Ini adalah contoh buruk, tapi umum terjadi, baik itu disadari maupun tidak disadari oleh individu tersebut. Manusia adalah makhluk yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari pengalaman dan semangat zamannya. Artinya, tidak ada manusia yang berada di wilayah netral sehingga kebenaran yang ia dapat (jikalau kebenaran yang ia yakini benar adanya) berlaku untuk semua tempat dan zaman dan dapat diberlakukan untuk semua manusia. Para ulama zaman dahulu pun (yang kita yakini lebih baik keilmuwan agamanya), sering terdistorsi oleh keilmuwan pada zamannya yang jika kita gunakan perangkat keilmuwan masa sekarang akan menonjol sekali kesalahannya.

Kemudian, bagaimana sikap kita? Menurut saya, karena kebenaran yang absolut murni tidak dapat dimiliki makhluk, maka perangkat hati inipun tidak boleh hilang daya relativitasnya. Yang terbaik adalah dialog, mencari sintesis dan tesis dan anti tesis yang kita yakini. Dan karena kebenaran sesuai dengan semangat zaman, maka pintu ijtihad dan pemikiran tidak boleh ditutup dan selalu dilestarikan budaya untuk membuka pikiran dan peluang terhadap sikap-sikap moral baru.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuhu

Selasa, Februari 12, 2008

Menjadi Manusia Sadar


“Barang Siapa Yang Mengenal Dirinya, Maka Akan Mengenal Tuhannya” kalimat tersebut sering kita dengar, baik itu dari ‘ulama, orang pintar maupun buku-buku yang tertulis. “Gnothi Seauton” begitu Sokrates bilang. Tokoh Filsuf asal Yunani inipun mengumandangkan hal yang sama.

Apa maksud dari paragraf pertama diatas?. Sebelum mengkaji lebih jauh, terlebih dahulu akan saya terangkan tulisan pengantar, agar pemahaman yang didapat dari kalimat-kalimat tersebut dapat dengan mudah masuk dalam pemahaman kita.

بسم الله الرحمن الرحيم

Kita hidup di zaman pencitraan. Zaman dimana segala sesuatu yang ada mengalami peningkatan makna secara berlebihan. Sebut saja seperti musisi idola yang ditampilkan setiap hari oleh televisi. Sosok idola tersebut tampil dengan dandanan yang menarik, cantik, mewah, hidup dengan kesenangan, dikelilingi dengan kemewahan, hidup enak, makanan enak-enak, pakaian banyak dan sebagainya.

Kita selaku orang yang mengkonsumsi citra tersebut akhirnya mengendapkan citra tersebut di kepala kita. Orang yang menginginkan menjadi musisi top, selalu membanyangkan dirinya dikelilingi dengan wanita cantik, makanan enak, ketenaran, kehadirannya disambut dimana-mana, mobil, rumah, pakaian dan makanan yang mewah, dan sebagainya. Jika kita berniat seperti itu, maka kita pun sebenarnya sudah menjadi korban dari gejala pencitraan tersebut. Yang lebih menghebohkan lagi, mungkin sekali diantara kita yang rela mati demi mempertahankan citra-citra tersebut, meskipun kita tidak sadar bahwa hal tersebut adalah omong kosong dan penipuan.

Contoh lain yang dapat diberikan misalnya, produk konsumsi. Sebut saja Sunsilk bagi perempuan. Shampoo ini seakan-akan menjadikan percaya diri kita bertambah jika kita menggunakan Sunsilk, seakan-akan ketombe yang menghalangi kita mendapatkan jodoh telah hilang untuk selamanya, berganti dengan rambut sehat bebas ketombe yang akan membuat seluruh pri jatuh cinta. Atau, merk air mineral Aqua. Setiap kali kita membeli minuman, selalu mengatakan “Beli Aqua” padahal, yang kita beli adalah merk Grand, Tripanca, atau lainnya. Ini contoh konkret, bagaimana kita setiap hari selalu dijejali berbagai macam pencitraan yang berlebihan terhadap banyak hal. Jika anda merasa bahwa anda memang seperti itu, sudah saatnya berubah dan memperbaiki pemikiran anda, karena anda sedang menjadi robot konsumtif, yang diciptakan oleh para produsen produk agar selau membeli barang mereka, meskipun hal tersebut tidak bermanfaat sedikitpun bagi anda.

Untuk menjadi makhluk manusia yang sadar akan dirinya, anda harus melihat diri anda apa adanya. Tidak perlu anda memamerkan benda-benda materi yang ada pada diri anda atau milik orang tua anda walaupun anda merasa bahwa diri anda menjadi lebih Pe-De dan seakan-akan perhatian semua orang tertuju pada diri anda. Jikalau anda melakukan itu, berarti anda sedang melakukan pencitraan terhadap orang lain disekeliling anda, bahwa menggunakan benda-benda materi tersebut menaikkan harga diri, status dan kewibaan anda.

Jikalau anda masih kurang yakin, jawablah pertanyan berikut ini: Apa Yang Sebenarnya Anda Miliki?

Karena anda pada hakikatnya tidak memiliki apapun didunia ini, bahkan terhadap hidup yang anda jalani setiap hari. Lalu apa yang menjadi kebanggaan anda? Seharusnya tidak ada, bukan? Bahkan amal perbuatan anda yang anda rasa baik dan mempunyai nilai pahala, tidak bernilai apapun bagi Allah, karena Allah tidak mamsukkan seorang hamba-Nya karena amalnya, termasuk Rasulullah saw (lihat hadits). Tetapi masuknya beliau dan pengikutnya ke surga adalah karena rahmat Allah SWT.

Jikalau pembahasan diatas sudah cukup membantu anda untuk mengenali diri anda, maka sekarang saatnya kita membahas aspek lain dari diri manusia yang saya coba rangkum dari ayat-ayat Al Qur’an.

Dahulu kala, manusia adalah sebuah Tanah/Tembikar yang dibentuk yang tidak memiliki kemampuan apapum, bahkan belum dapat disebut sebagai sesuatu (76:1-3). Kemudian, Allah meniupkan ruh-Nya (7:172) kepada manusia sehingga memiliki kehidupan (15:29/38:72). Dan ulama sepakat bahwa manusia pertama adalah Adam, yang kemudian dibekali dengan pengetahuan (2:31,33). Dan kerana pengetahuannya tersebutlah, maka Tuhan memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk tunduk (hormat) kepada manusia(2:34/7:11,12/17:61). Ini melambangkan, bahwa manusia memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Namun, bukan berarti kemudian kita tidak memiliki sifat penyembahan seperti Malaikat, Jin, Iblis maupun yang lainnya. Pada hakekatnya, manusia adalah abdi atau penyembah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang mengatakan bahwa sebenarnya jin dan manusia diciptakan untuk menyembah kepada-Nya (51:56)

Karena seluruh alam ini merupakan ciptaan Allah, maka semua hal yang kita hadapi, maupuan pada diri kita sendiri, melambangkan Allah sang pencipta. Anda melihat gunung, kemudan terpesona dengan keindahan, keagungan, keperkasaan,. Pada hahikatnya anda sedang mengagumi Allah juga. Anda mengagumi lawan jenis yang cantik ataupun tampan, itupun sebernarnya anda sedang mengagumi Allah. Namun, karena hakikat ini tersembunyi, maka anda terkadang terperangkap oleh pencitraannya, bahkan mencintai sampai mati pencitraan itu, bukan mencintai hakikatnya.

Anda mencintai Ani yang cantik, anda akan berusaha untuk mendapatkannya, apapun cara dilakukan, bahkan anda rela berkorban untuknya. Anda berarti sudah mencintai citra tuhan yang ada pada diri Ani, dan sudah melupakan cantik hakiki yang dimiliki oleh Allah. Jikalau ini menghantui anda, selamanya hidup anda akan merasa tersiksa, karena anda hanya mencintai citra Tuhan, bukan tuhan itu sendiri.

Maka, karena tabiat menyembah itu ada secara fitrah pada diri manusia, maka tabiat menyembah itu harus diletakkan pada porsi yang seharusnya. Pada saat itulah anda dapat dikatakan sebagai manusia sadar akan dirinya dan sadar akan tuhannya. Karena alam materi tidak akan pernah memuaskan diri anda selamanya, karena anda hanya mendapatkan citranya saja, bukan hakikat.
و السلام عليكم

Tentang Ketuhanan

Setelah menganalisa konsep tentang tuhan yang sering kita gunakan untuk menjalin hubungan dengan tuhan. Dan mampu kita cerna dengan baik bahwa hal itu hanyalah sebuah abstraksi imaginer dari masing-masing individu. Fokus berikutnya yang coba kita bahas adalah wilayah tuhan memasuki diri kita.

Pada umumnya, dipercaya bahwa hati merupakan manifstasi keberadan tuhan. Pencarian tentang tuhan tak pernah manusia jumpai di wilayah materi, maka manusia beralih perhatin menuju hati. Umumnya disinilah manusia menamukan tempat bermukim dan menghabiskan waktunya bersama tuhan dalam keseharian hidupnya.

Didalam hati inilah manusia menemukan kebenaran-kebanaran ‘ajaib /bawah sadar’ yang tidak ia temui di wilayah materi. Kebenaran-kebenaran tersebut membuat manusia mengisolasikan dirinya menjauhi segala hal yang berhubungan dengan sifat-sifat materi. Kalau umumnya pada penggunaan akal manusia merasa melihat dan menemukan tuhan disegala hal melalui panca inderanya, tapi di wilayah ini manusia mendalami sendiri dirinya dan perasaannya dan ia merasa puas dengan kehidupan tersebut karena ia juga merasakan hidup bersama tuhan. Jadi ada dua arah. Yang pertama hidup dengan tuhan melalui kemampuan analisa dan panca indera,yang kedua hidup bersama tuhan dengan kedekatan emosional.

Keduanya sama-sama membahayakan. Namun fokus kita batasi pada penggunaan hati. Umumnya, setiap ilmu pengetahuan selalu melekat sifat kekuasaan. Hal ini sesuai dengn semangat era modern (Francis Bacon) dimana pengetahuan selalu identik dengan kekuasaan. Dan orang yang merasa mampu menyelami perasaannya akan menularkan kepercayaannya terhadap kebenaran mutlak ini kepada orang lain. Hal ini sering menimbulkan perbudakan agama (Religius Slavery). Dan pada umumnya kita tidak mampu untuk berontak, karena itu berarti mengingkari perasaan (dimana tuhan kita anggap berdiam disana). Sehingga kekuasaan religius ini semakin kuat menancap membuat hilang daya kritis dan kemampuan berfikir kita.

Apakah wilayah hati selalu mambawa kebenaran? Menurut ilmu psikoanisa, manusia dalam kehidupannya sebenarnya selalu digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Dorongan-dorongan tersebut selalu menekannya untuk merealisasikan apa yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya (menuntut aktualisasi). Alam bawah sadar adalah wilayah yang sedang didalami dan dipelajari. Kita sering bermimpi yang dikemudian hari menjadi kenyataan, baik itu mimpi yang jelas peristiwanya maupun menyiratkan simbol-simbol tertentu yang dapat kita prediksi arah kebenarannya, juga karakter dan perilaku sosial merupakan wilayah ini. Intinya, kebenaran wilayah hati/ alam bawah sadar merupakan wilayah yang belum dapat diyakinkan keakuratannya. Juga dalam filsafat etika, kemampuan Immanuel Kant telah diragukan. Karena fokus pada individu membawa manusia menjadi absolut

Mengapa wilayah hati harus diwaspadai? Umumnya, setiap manusia memasuki fase penelitian baru, tuhan selalu tersingkir keberadaannya. Dahulu, tuhan identik dengan alam dan seiring dengan pengetahuan manusia, alam ternyata bukanlah tuhan dan diketahui bahwa geraknya mekanistik dan dapat dipelajari. Disini timbul pengetahuan baru bahwa tuhan bukan alam, begitu juga saat manusia memasukkan tuhan dalam pikiran dan hatinya. Kecenderungan besar bahwa tuhan akan tersingkir jika manusia melakukan penelitian akan terbukti. Inilah yang membuat Fritjof Capra berkata” tuhan berada di batas horison kita”

Tulisan ini tidak menggiring kesadaran kita dan keinginan kita untuk berhubungan dengna tuhan menjadi jauh atau hilang, tetapi hubungan dengan tuhan melalui kedalaman perasaan dan hati individu tertentu menjadi berpotensi tidak baik dan merendahkan derajat manusia lainnya (Religius Slavery). Sebagai sebuah pra-wacana dimana kebenaran mutlak tersebut adalah relatif mari kita dialogkan tuhan sebagai sesuatu yang dimiliki bersama.

Tulisan ini juga tidak menyalahkan pemikiran manapun yang menemukan terang pada fokus pembahasan atau pendalaman wilayah tertentu (akal maupun hati). Hanya, porsi wilayah kekuasaan tuhan selayaknya dipikirkan kembali dan mendapat tempat sewajarnya.