Kamis, Maret 06, 2008

Imaginasi

Saya senang diberi kemampuan untuk melakukan imajinasi dalam pikiran. Sangat mengangumkan bagaimana saya mampu merekam apa-apa yang telah saya lihat sebelumnya kemudian melakukan analisa terhadap apa-apa yang telah saya lihat tersebut bahkan jika mungkin saya dapat menemukan sisi pandang baru dalam proses berimajinasi tadi yang tidak saya dapatkan jika saya hanya sekedar melihat saja.

Kita tentu kagum bagaimana mungkin dunia yang begitu besar dapat memenuhi isi kepala tanpa perasaan telah terisi sama sekali, bahkan setiap hari diisi dengan visualisasi apapun tetap tidak pernah merasa penuh.

Kita dapat melihat beberapa manfaat dari fungsi ini. Dengan imajinasi inilah kemudian kita dapat berinteraksi secara lebih baik dari sekedar mengandalkan interaksi sesaat. Dari proses imajinasi inilah kemudian kita dapat memberi makna terhadap keseharian kita.

Bahkan dari segi religius, kita dapat berinteraksi dengan tuhan tanpa harus susah payah mencari sosok-Nya. Setiap kali kita ingin mengetahui dan merasakan keagungan-Nya, kita tinggal berimajinasi dengan alam sekitar. Bahkan rasa kasih tuhan yang begitu dekatpun senantiasa dapat kita rasakan walaupun kedalaman yang kita lakukan melalui interaksi individu ini merambah wilayah manapun dan dengan kedalaman seberapapun.

Saya yakin, bukan hanya kita orang awam yang merasa terbantu dengan proses imajinasi ini, bahkan para ilmuwan pun memerlukan imajinasi ulang untuk mendalami percobaan-percobaan atau ekperimen yang mereka lakukan.

Namun, tetap saja ada sisi buruknya. Kita bisa saja tidak dapat melepaskan ketergantungan pada penghayalan terhadap objek/ seseorang yang kita senangi. Padahal kita tahu persis ia tidak ada didekat kita, atau bahkan diperjalanan yang akan saya tempuh. Tapi saya merasa ia selalu ada. Entah itu didepan, diruangan, di tempat umum, bahkan ia mampir sebelum tidur. Heran, kok yang begini masuk juga…

Tentang Kesulitan Menulis

Terkadang diperlukan waaktu berjam-jam atau berminggu minggu untuk sekedar mendapatkan sebuah tulisan; yang dalam standar penilaian kita masuk kategori "bagus dan menarik", yang jika dibaca oleh orang lain akan segera mendapat sambutan yang baik.

Entah mengapa, kita harus bersandar pada sebuah definisi yang disebut sebagai "ilham". Sebuah makna yang menarik bagi jiwa kita, yang kita percayai datangnya dari luar kemampuan kita, namun tetap berada dalam diri. Bagaimana menjelaskannya dengan kata yang mudah? sesuatu yang dikatakan datang dari luar tetapi ada dalam jiwa?

Saya meragukan engan kebenaran yang ditawarkan oleh sesuatu yang kita sebut sebagai ilham ini. Apakah kedatangnnya tersebut memang sesuatu yang baik secara moral? Dan dapat dipertanggung jawabkan? karena standar moral untuk melakukan validitas kebaikan adalah standar moral yang telah kita miliki. Jikalau bertentangan dengan standar moral kita, biasanya kita akan menyebutnya sebagai sesuatu yang mengandung polemik.

Selain sumbernya yang kita tidak pernah tahu, dan standar kebenarannya adalah kita sendiri, juga datangnnya ilham ini tidak pernah melampuai kemampuan pengetahuan yang kita miliki. Tidak pernah kita mendapati seseorang yang mendapatkan ilham melebihi kemampuan/ kapasitas intelektualnya atau kemampuan daya pikirnya.

Darimana sang ilham ini mengetahui kemampuan daya pikir kita? Apakah ia datang dengan terlebih dahulu melakukan menyesuaikan terhadap pengetahuan yang kita miliki yang kita dapat dari kehidupan sehari-hri? Atau ilham ini adalah sebuah abstraksi kebetulan yang telah dihasilkan dari proses pemikiran acak yang tidak kita sadari?

Mengherankan! Seakan–akan ia mempunyai ritm kehidupan sendiri; yang datangnya seringkali disaat yang tepat dan kedatangannya seakan-akan memang telah kita nanti-nantikan bertahun-tahun lamanya. Sehingga saat ia datang maka mulut kitapun ternganga dan melupakan segala hal lain hanya demi ilham ini.

Sangat membingungkan fenomena ilham ini. Padahal kalaulah saya diberi kemampuan untuk selalu melakukan abstraksi yang baik terhadap apa-apa yang telah saya miliki yang kita sebut sebagai pengetahuan, saya ingin selalu menulis secara periodik. Tanpa menggantungkannya terhadap "ilham" saya ingin menulis seperti halnya saya menarik dan menghembukan nafas. Tidak pernah berhenti…

Senin, Maret 03, 2008

Insting Dan Nalar Dalam Memilih (Tanggapan Untuk Wahyu)

Kita harus berfikir ulang mengenai kecenderungan pilihan yang kita lakukan setiap hari. Apakah kecenderungn piilhan kita terhadap sesuatu itu pilihan nalar atau insting?

Pertama secara instingtif. Perhatikan dari mana timbulnya kesukan kita terhadap sesuatu. Apakah ia timbul dari ketidak sadaran /alam bawah sadar? atau tidak. Sebagai contoh. Dalam sebuah keluarga, tidak pernah terdapat kesamaan terhadap jenis makanan yang sama. Jika sang ibu dan ayah menyukai buah durian, belum tentu sang anak kan memilih buah durian jika ia ditanya apa jenis buah yang disukainya, walaupun ayah dan ibunya telah menjelaskan banyak hal tentang kebaikan dan manfaat buah durian.

Kita mengatakan itu sebagai sebuah pilihan bebas. Tapi bebas dari apa? Apakah kehendak yang timbul tersebut benar-benar bebas? Bukankah justru kita tidak dapat melawan kecendrungan kita untuk menyukai sesuatu dan menuruti kehendak yang kita sendiri tidak pernah tahu dari mana asalnya dan bagaimana menjelaskannya/ tanyakan juga hal itu pada orang yang sedang jatuh cinta. Apakah ia mengatakan itu murni karena pengetahuannya tehadap objek yang dicintainya tanpa naluri instingtif sama sekali? Atau pilihan jalan hidup, cita-cita, bakat seni, dan sebagainya. Sebagian besar kecenderungan ini tidak dapat dikatakan merupakan pilihan sadar. Dorongan tersebut timbulnya secara spontanitas yang mendorong dan memberi kekuatan. Ia memberikan gambaran tentang kesenangan yang akan didapat jika kita melampiaskan keinginan itu. Walaupun tidak semua (insting primitif) itu membawa kebaikan, tetapi harus diakui bahwa insting ini telah membantu kita dalam menentukan pilihan dan memberikan kita beberapa jenis kepuasan yang menyenangkan. Bahkan diantaranya menjadi pilihan tetap meskipun ia tidak mampu menjelaskan mengapa ia memilih hal tersebut.

Adalagi pilihan yang berdasarkan nalar. Hal ini terdengar seperti konsep Plato yang menegaskan bahwa pilihan manusia itu pada dasarnya adalah baik (selama ia memiliki pengetahuan tentang itu) namun jika ia melakukan hal-hal buruk, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya ia tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, karena itu apa yang ia lakukan belum dapat sepenuhnya dikatakan salah.

Jadi, piihan yang dilakukan adalah proses olah pikir yang telah dilakukan oleh Subjek sebelum ia menentukan pilihan. Sebuah cara pandang yang menarik bukan? Namun, jika kita melulu mengandalkan pengetahuan terlebih dahulu sebelum melakukan pilihan, saya khawatir kita akan terlalu sedikit dan selektif dalam melakukan sesuatu, karena kapasitas kemampuan kita melakukan olah informasi tidak dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang luas.

Mungkin jalan yang akan dipilih adalah melakukan musyawarah dan mengajak orang lain urun rembug dalam sebuaah pilihan. Namun tetap, setiap individu yang hadir pun akan melakukan kecendrungan instingnya untuk diajukan sebagai sebuah alternatif yang baik menurut masing-masing personal. Walaupun, tetap saja pilihan keputusan yang diambil nantinya akan disebut sebagai sebuah pilihan nalar.

Anda tertarik untuk mengambil sintesis dari hal diatas? Saya setuju jika begitu, karena kita mempunyai pendapat yang sama untuk sementara. Dan alternatif itu adalah pada sikap waspada. Kita tidak dapat melakukan sikap "harga mati" terhadap sesuatu tanpa dapat terlebih dahulu melakukan nalarisasi terhadap hal-hal baik dan hal-hal buruk terhadap objek "harga mati" itu. kita tidak dapat menerapkan konsep absolut baik dan benar pada pilihan yang kita lakukan karena kita tahu persis kondisi objek pilihan itu. ini menandakn sikap waspada yang terbuka, manusiawi dan pantas.

Atau anda punya konsep lain?

Tuhan Konsep

Pengetahuan tentang Tuhan yang dapat saya lihat adalah akumulasi dari berbagai pengalaman hidup yang dialami dan dimiliki oleh manusia. Proses akumulasi itu kemudian disandarkan pada kata "Absolut" dan ekslusif milik subjek. Dalam hal ini, Tuhan menjadi refleksi pengalaman dan sandaran bagi kumpulan nilai yang telah ia dapat selama hidup.

Mudahnya begini. Jika subjek banyak mengalami perlakuan kasih sayang, perhatian, kebaikan dari keluarga dan lingkungan, maka Tuhan akan menjadi suatu Subjek yang baik, menyenangkan, penuh cinta, Maha memperhatikan dengan kasihnya, dan hal –hal baik lain yang sesuai dengan apa yang sebelumnya ia kenal. Hal-hal inilah yang akan ia bawa dalam pengkonsepan Tuhan yang ia pertahankan dan sebarkan kepada orang lain, karena hal itulah yang benar-benar ia pahami tentang nilai.

Dari sisi lain, jika selama ini ia mengalami penyiksaan, perlakuan kasar, kehidupan keras dalam kepahitan hidup dan embel-embel citra "maskulin" lainya, maka ia akan menggunakan pengalaman yang ia dapat tersebut pada konsep Tuhan. Ia akan lebih mengenal Tuhan sebagai Subjek yang akan memberikan hukuman terhadap kejahatan, memberikan kasih sayang terhadap pemberontakan melawan kejahatan, memberikan kenyamanan hidup dengan kelimpahan makanan dan lainya sebagai respon melawan kerasnya hidup yang pernah ia jalani.

Jika kita buang jauh-jauh konsep Tuhan dengan cara ini, maka kita perlu merumuskan konsep baru tentang Tuhan. Tentang konsep yang mampu menaungi konsep-konsep lain sehingga kita dapat sebuah konsp yang paripurna.

Tapi, jalan tengah yang tampaknya cerdas ini juga membahayakan dan tetap sesat pikir. Jika pada dua contoh sebelumnya dapat kita katakan sebagai bentuk membangun pemberhalaan dalam konsep (dikepala) maka proses ini adalah pembuatan berhala yang lebih besar untuk mengalahkan konsep berhala-berhala kecil sebelumnya. Seperti keadaan Arab pra Islam dengan 360 berhala (berhala kecil) dan Latta atau 'Uzza (untuk berhala besar yang mengalahkan kemampuan berhala-berhala kecil). Jadi, kita diminta untuk melakukan peng-'Uzza-an atau peng-Latta-an baru.

Lalu apakah kita akan "Membuang-Buang Tuhan" seperti yang dikatakan Cak Nun? Atau melihat Tuhan sebagai horizon seperti tokoh Eksistensialisme (Kierkgard?). bagaimana menjadi sosok Ibrahim baru bagi pemberhalaan ini?

Saya setuju saja dengan konsep manapun yang dipakai, karena sejujurnya kita tidak dapat membangun sebuah jembatan kekhusu'an dalam beribadah jika kita tidak memiliki konsep apapun tentang Tuhan. Tetapi, konsep itu tetaplah tidak boleh absolut, karena definisi absolut tidak boleh diberikan kepada Tuhan. Bukankah tuhan terlepas dari semua definisi?

Selasa, Februari 26, 2008

Komentar Untuk Qais

Pastinya sesuatu yang berat adalah sebuah kehilangan. Namun kekosongan dari hal itu tentulah lebih berat lagi. Saya percaya kehilangan hal itu dapat mengakibatkan kegilaaan. Hidup tanpa arah namun hidup harus dijalani, dan ironi mempertemukan energi terbesar kita terkuras untuk hal itu. Saya percaya kehilangan hal itu dapat pula menghilangkan kewarasan, hubungan kekerabatan, mendatangkan kecintaan pada alienasi, dan menikmati hidup secara solitair. Berat dan sulit diterima akal, tetapi pastinya hal itu terasa nikmat, meskipun usaha yang dilakukan hanya membayangkan, tak berani mengucapkan dan menggapainya. Bukankah berjuta-juta contoh telah kita temui dan lihat sepanjang perjalanan pengalaman kita?
Tetapi kegilaan itu tentulah sangat nikmat bukan? Pastinya rasa tercekat di tenggorokan itu ingin terus dirasakan saat pertemuan yang diharapkan terjadi. Tetapi, pertemuan itu tak perlu diiringi dengan banyak kata, karena kata-kata hanya mengaburkan rasa, menyamarkan apa yang dinikmati secara terang. Maka saat pertemuan yang dalam waktu lama telah ditunggu-tunggu hanya terlampiaskan dengan diam pastinya telah dipahami. Perasaan penuh itu mampu meluberi kepala bukan? Menguburkan definisi apapun
Dirinya pasti sangat bijak dengan melakukan hal itu, hal yang tak mampu dipahami oleh orang biasa. Sebuah sikap yang tidak egois sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang awam yang tak paham. Tidak ingin menyakiti dengan sebuah percakapan yang tak perlu dan sentuhan fisik yang datar dan hambar. Hal yang sulit dilakukan oleh orang yang mendongakkan kepala. Maskipun objek tersebut secara jelas memberikan reaksi yang sama.
Sebuah hiburan dari negeri 1001 malam yang melenakan. Tetapi maaf, hidup tidak seperti mimpi orang-orang Arab. Seringkali hal itu tidak pernah menyentuh apa-apa yang telah ditemukan oleh Qais. Bukankah hubungan yang paling sering disalahpahami adalah hubungan antara dua anak manusia yang berlainan jenis? Bravo Nietzsche... by the way, anda boleh menyebut hal itu sebagai cinta.

Senin, Februari 25, 2008

Tentang Cinta

Apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain makian kepada “cinta”? Dan apa hal terbaik yang dapat dilakukan selain sanjungan dan pujian kepada “percintaan”?
Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa apa yang sering disebut sebagai cinta adalah dorongan primitif dari “id” (dalam terminologi Sigmund Freud) yang memberikan tujuan indah bagi realisasinya secara instingtif dan memberikan gambaran kepuasan hasrat secara maksimum (yang saya pahami). Dan yang lebih buruk lagi, sebaik apapun pikiran sadar kita mampu menyadari dan mengikutinya, dorongan itu tetaplah tidak dapat diredam dan dialihkan secara tuntas ke tempat lain. Sungguh sebuah potensi energi yang akan terbuang sia-sia...
Jikalau aktivitas olah raga, membaca dan hobbi bagi sebagian orang dapat mengelabui dorongan primitif ini, tetap saja potensi kelicikan itu nantinya akan terkuak jika kita mau secara jujur dan objektif melihat keadaan yang sebenarnya. Apakah mungkin trikl-rik pengelabuan yang kita lakukan tadi merupakan bagian partikular dari sebuah kue besar yang kita sebut cinta? Apakah cinta melatarbelakangi setiap gerak?
Menjadi seorang “moralis ideal!” sebagai sebuah sintesis dari dorongan primitif dan pikiran sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud bagi saya tetaplah belum mampu menjawab permasalahan yang sesungguhnya, diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kata cinta ini, baik cinta yang dipahami dan dijalani secara umum, maupun dalam aspek bahasan ilmiah.
Mengapa cinta selalu dibarengi dengan hasrat yang besar? Yang besarnya tak kalah dengan kecintaan itu sendiri? Dan keduanya tak pernah lelah dan habis? Apakah keduanya turunkan dari keabadian? Abadi mana? Cinta atau hasrat? Atau manusia selaku pembawa keduanya? Pembawa atau bagian? Sudahlah, Jangan tanya lagi...

Tentang Kebenaran Dan Nabi (untuk komay.blogspot.com)

Saya pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif selama kebenaran itu bersanding dengan manusia. Bagaimana dengan sosok nabi selaku pembawa kebenaran absolut? Apakah posisi ini mendapat pengecualian?
Sebelumnya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa nabi adalah sosok manusia yang manusiawi, bukan sosok manusia yang ilahi. Hal-hal yang mutlak/ absolut adalah titipan tuhan yang diturunkan kepada nabi. Selama titipan itu masih berada dalam bungkus aslinya (tertutup dari segi pemahaman manusia), maka kebenaran itu tetap menjadi absolut (namun, apa arti benar jika tidak mampu dipahami?). Terlebih, nabi selaku pembawa berita absolut tersebut menyapaikan bentuknya dalam segi uraian atau tulisan, maka ia memasuki dimensi manusia. Karena ia memasuki dunia manusia, maka setiap manusa berhak memberikan interpretasinya masing-masing, karena posisi pemberian makna adalah manusia itu sendiri. Dari sini saja, sudah timbul beragam kebenaran yang tidak absulut yang merupakan turunan dari kebenaran absolut bukan?
Sedangkan sosok nabi yang manusiawi, tidak pernah terlepas dari kecenderungan-kecenderungan yang dimliki oleh manusia pada umumnya. Bukankah nabi pernah mengharamkan madu demi menyenangkan istri-istrinya? Kemudian Allah menegur nabi? Juga bukankah nabi pernah mengabaikan ibnu ummi maktum (seorang buta) yang meminta dakwah selagi nabi sedang berdakwah menghadapi pemuka quraisy? Juga bukankah nabi pernah salah dalam memberikan pendapat tentang tata cara mengawinkan buah kurma?. Itu dalam segi pengetahuan dan politik nabi yang manusiawi, bagaimana dengan sosoknya? Ayolah, tidak mungkin kita memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak berjenggot bahwa ia tidak mengikuti tuntunan rasul hanya karena nabi menyuruh memanjangkan jenggot. Bukankah ini wilayah manusia? Wilayah interpretasi nabi yang memandang baik hal-hal keduniawian?
Saya tidak menyanggah kemampuan nabi selaku subjek pertama (penerima wahtu) untuk mendapat kebenaran yang paling “mendekati” maksud dan keinginan tuhan, saya juga tidak menyanggah kemampuan potensi pribadinya untuk dapat menerima kebenaran absolut dari yang “absolut”. Ini merupakan kemampuan istimewa yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Pada titik ini tentu kita harus mengakui kelebihan nabi. Sebab kalau hal-hal itu dapat dilakukan oleh semua manusia, maka tentu tidak perlu nabi bukan? Walaupun setelah nabi menerima dan menyampaikan wahyu tersebut, setiap mansuisa merasa mampu dan bahkan mencoba melakukannya lebih baik dari nabi. Itu sah-sah saja
Posisi nabi yang saat ini masih saya akui adalah sebagai seorang penyampai. Seperti fungsi lidah (baca: ateisme dalam islam) dalam mulut. Begini penjelasannya: setiap kita mempunyai mulut dan lidah didalamnya bukan? Artinya, setiap kita punya potensi untuk dapat mengucapkan dan berkomunikasi dengan kemampuan itu. Tapi, nabi adalah seorang pencetus penggunaan lidah tersebut bagi banyak orang. Ia memberitahukan fungsi lidah dan apa yang dapat dilakukan olehnya. Baru setelah manusia umum mampu melihat potensi ini, mereka mengembangkannya, bahkan pada tingkat yang sangat maju dan canggih melebihi apa-apa yang telah dilakukan oleh nabi. Tapi tetap, semaju apapun yang telah dilakukan oleh manusia, nabi adalah pencetus, pelopor utama , pembangun pondasi.

Sabtu, Februari 23, 2008

Tentang Ketaatan Buta

Setiap orang yang menggeluti dunia religiusitas tentu menginginkan kemurnian dalam peribadatan. Segala upaya yang dilakukan tentu diarahkan demi ketaatan itu sendiri, walapun mungkin bentuk aktifitas yang dilakukan amat beragam dan memiliki tingkat intensitas yang berbeda. Pendek kata, apapun yang dilakukan berpulang pada tujuan utama sang “abdi” tersebut yang memfokuskan segala bentuk perilakunya demi Tuhannya.
Dalam segi sikap, ia bersikap seperti orang yang tidak memiiki kemauan terhadap dunia dan memandang dunia sebagai serbuah manifestasi tuhan yang diciptakan untuknya dan dihadirkan oleh tuhan untuk diambil hikmahnya, sedangkan posisinya adalah sebagai penonton yang pasif, berfikir dan mencerna segala hal yang hadir dan tampak dihadapannya. Kecenderungannya untuk memihak menjadi hilang, ia seperti orang yang tidak memiiki pegangan dan hasrat, karena segala hal dimatanya adalah baik, sebagamana tuhan yang telah menciptakan peristiwa itu menyimpan hal-hal baik. Segala hal yang dilihatnya mengandung hal-hal positif, sehingga rasa kepercayaannya meningkat terhadap apapun dan situasi yang bagaimanapun
Sikap ini menghilangkan kewaspadaan diri dan kemawasan. Hal-hal seperti taktik, tipu daya dan konspirasi dalam bentuk yang paling kecilpun akan hilang dalam prasangka dirinya dan memandang segal yang berada disekelilingnya adalah baik, dapat dipercaya, dapat dicarikan solusi yang paling baik jika mengandung masalah. Ia menarik diri dari pertikaian dan perbedaan pendapat, mengeluarkan pendapat yang ia kira mampu menampung semua golongan dan menjauhkan diri dari persekongkolan apapun yang dalam sisi negatif yang paling kecil, pasti memberikan dampak yang buruk dan negatif pada lawannya.
Hal tersebut terlihat amat mencolok. Anda tahu apa yang membuat sikap ini berbahaaya? Mereka yang memiliki tingkat ketaatan (yang katanya ) tinggi seperti ini amat berpotensi untuk meningkatkan jumlah perbudakan religius (religious slavery) karena ketaatan yang ia berikan nantinya akan ia serahkan secara bulat kepada (yang ia sebut) “pemimpin agama”, yang secara simbolis ia maknai sebagai sebuah ketaatan penuh jika ia mampu memberikan ketulusan hati, kejernihan pikiran dan kesiapan raga yang maskimal terhadap pemuka agama tersebut.
Apapun perintah dan tugas yang diberikan oleh pemuka agama tersebut akan dianggap sebagai sebuah bentuk ungkapan/ tes/ ujian keseriusan dirinya dalam menjaankan perintah agama. Sehingga apapun yang diminta oleh pemuka agama itu akan segera ia penuhi, ia sanggupi dan ia korbankan apa yang dimiliki dengan tujuan mencapai kedekatannya dengan tuhan. Tetapi, apakah sikap pemuka agama tersebut melambangkan sikap tuhan? Hal ini tentu tidak masuk dalam agenda pemikiran sang abdi bukan? Jika benar seperti ini sikap ketaatan itu, maka pemuka agama tersebut berpotensi untuk merubah ketaatan murni yang polos tersebut menjadi sebuah potensi perbudakan hirarkis yang kuat, kokoh dan militan.
Pemuka agama yang mampu melihat gejala ini dapat memanfaatkan situasi tersebut menjadi sebuah kekuatan baru yang berpotensi mengandung kekuatan ekonomi, politis, sosial dan budaya. Kemampuan sang pemuka amatlah penting dalam menentukan arah pergerakan kekuasaannya yang berlandaskan pada ketaatan tersebut. Strategi yang ia kembangkan dalam membentuk sebuah komunitas baru yang seragam amat mungkin menimbulkan hegemoni yang bermanfaat (dalam sudut pandangnya) dan berdaya guna
Jika ini yang terjadi kemudian, maka hal lain yang timbul setelah komunitas tersebut mampu ia mapankan, adalah mempertahankan posisi kemapanan tersebut terhadap segala macam gangguan dan halangan yang merintangi. Persiapan kader, pemilihan calon penerus, membuka peluang kenaikan status bagi orang-orang yang teruji kualitasnya untuk melanjutkan perjuangannya, adalah sedikit dari hal-hal yang akan dilakukan demi upaya tersebut. Dan segala bentuk pemikiran baru dan sikap-sikap baru tentu mendapat filterisasi yang kuat dan ketat demi menyelematkan hegemoninya.
Pada tingkat ini, dapatlah dipertanyakan tentang ketaatan. Apa kabarnya? Tentu anda bisa menjawab bahwa ketatatan murni tadi telah hilang. Ketaatan murni yang sedari awal telah mengandung kebodohan tadi kini akan menarik para abdi-abdi baru yang tidak memiliki modal apapun kecuali niat mencari ketaatan dan pengembangan religius. Ia akan bertemu dengan orang-orang yang telah menghegemoni secara mapan komunitas yang tersebut diatas dan meracuni piiran-pikiran “anak baru” dengan kesolidan, kekompakan dan kekuatan hati mereka .
Begitulah siklus itu terjadi terus menerus dan berkesinambungan. Secara perlahan ia akan berjalan dan mapan dalam lingkungannya, diterim oleh masyarkat dan mulai dengan lambat membentuk budaya-budaya baru yang akan dilestarikan. Lama-kelamaan, segala hal yang tdilestarikan tersebut akan menjadi nilai kebenaran yang diterima oleh orang banyak/ umum. Mengagumkan! Padahal awal mulanya adalah sebuah ketaatan buta!

Jumat, Februari 22, 2008

Tentang Benar

Definisi benar yang umum telah disampaikan adalah definisi seperti yang dikemukakan oleh Socrates: bahwa sesuatu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang ada. Hal ini bermakna: jika anda mengatakan ada meja bundar didapur dan ketika dicek kebenarannya, benda tersebut memang ada maka anda telah berkata “benar”, terlepas dari apa warna, posisi, bentuk ornamen dan sebagainya, karena anda tidak mengatakan hal litu secara detil.

Permasalahan filsafat yang (katanya) timbul. Kata benar yang dimaksud lebih tertuju pada konsep benar untuk objek materi, sedangkan benar yang sering kita maksud adalah benar yang tidak tertuju hanya pada materi. Karena jika berbicara melulu hanya pada tataran materi, maka pembahasan manusia akan menjadi terlalu sempit dan dunia menjadi kurang bervariasi dan menjemukan. Karena hal itu secepatnya dapat diklarifikasi dan cek validitasnya, namun, yang seringkali menjadi objek bahasan “benar” adalah “sisi lainnya”.

Pembahasan tentang benar yang seringkali muncul adalah tentang pendapat kita mengenai nilai-nilai, tentang moralitas seseorang, tentang perbuatan yang melatar belakangi dan lainnya. Dan berbicara masalah tersebut, kata benar tidak lagi menjadi baku dan stagnan, namun berkembang dan menjadi luas menjamah kawasan-kawasan yang sebelumnya tidak terpikir. Dalam hal ini, keahlian retorika dan ketajaman fikiran untuk melihat masalah amat diperlukan, namun tetap saja tolak ukur benar tidak dapat senpenuhnya diaktakan seratus persen tetapi hanya berbicara masalah hegemoni dan kesepakatan.

Sampai batasan ini, filsafat belum begitu mampu menjelaskan kata benar dengan memuaskan (katanya), diperlukan sebuah konsesi umum tentang benar yang dapat diterima dan diakui, bisa jadi yang diakui dan disepakati itu terdapat dalam sistem moral setempat, adab dan perilaku yang ditolerir, dalam sudut pandang penguasa disebut utile’ (Prancis). Pendek kata, sebuah perilaku benar harus mengacu pada daerah tertentu yang menyepakati sebuah kebenaran dan kebenaran itu dapat diterima oleh umum. (Contoh yang paling mudah dapat anda temukan dalam kasus Galileo dan pemuka gereja pada abad tengah)

Apakah konsep benar itu tidak mengalami perkembangan? Jawabannya tentu saja konsep benar mengalami perkembngannya sendiri, dimana perkembangannya bergantung pada kondisi masyarakat yang melingkupi konsep tersebut. Hal ini terlihat seperti sebuah permasalahan tentang perlawanan terhadap demokrasi oleh orang perorang atau kawanan yang mempunyai kuasa untuk melakukan perubahan. Bukankah kita tidak dapat menyingkirkan pribadi-pribadi yang bergerak diluar pemahaman umum, dan menawarkan sebuah konsep benar yang baru? Baik pribadi itu disebut sebagai jenius, nabi, penguasa, filsuf dan sebagainya

Sampai disini, dapatlah terungkap oleh kita bahwa sebenarnya sesuatu yang benar itu tidak dapat mutlak dan meniadakan yang lain, juga sesuatu yang salah bukan berarti ia sesuatu yang gila, aneh dan merusak secara keseluruhan, karena bisa jadi ia justru menawarkan sebuah cara pandang baru, namun cara pandangnya tersebut belum dapat diterima oleh pandangan umum, menyalahi norma dan sebagainya. Namun, kontribusinya juga tidak dapat dianggap sebelah mata. Bukankah dengan adanya konsep “benar” yang salah yang ia tawarkan itu justru makin memperkuat konsep benar yang dipahami oleh umum, dan bahkan “ia” mampu membuat sebuah inovasi dan cara pandang baru terhadap sebuah permasalahan hidup? Bukankah ia membantu melihat hidup secara lebih kompleks? Bukankah ini juga berguna?

Tentang Tulisan Cengeng

Pernah menulis tentang perasaan sakit hati anda? Pernah mengungkapkan perasaan sedih dan susah anda kepada orang yang anda percayai dapat mendengarnya dengan baik? Hal ini seperti pekerjaan perempuan kedengarannya. Tapi secara umum, manusia mengalaminya.
Secara psikologis, saat seseorang mengungkapkan apa yang dialaminya (berupa kesedihan) kepada objek tertentu, baik itu manusia, kertas, komputer, diary atau apapun, maka secara instingtif ia telah melampaui permasalahan itu dan telah mendudukan persoalan itu sebagai objek, bukan sebagai bagian dari dirinya. Hal ini tentu saja bersifat melegakan dan menyenangkan, walaupun ia tidak dapat melihat sisi lain (hal positif) dari kesedihan yang dialami selain kesedihan itu sendiri, tetapi karena permasalahan itu telah mampu ia ceritakan dengan baik, maka permasalahan itu mengalami pembekuan/ terjadi stagnasi

Ketika ada orang lain mengomentari sebuah ungkapan kesedihan, maka komentar apapun yang terungkap, sebenarnya sang penulis telah melewati fase tersebut dan tidak lagi mengalamnya dan ia telah melihat permasalahan itusebagai sebuah bagian dari banyak bagian/ sisi hidupnya. Ia tidak lagi terpaku dan berendam diri dalam kubangan kesedihannya. Ia telah menatap sebuah masalah hidup baru, sesedih dan sesusah apapun permasalahan hidupnya.

Namun, orang yang melulu berfikir tentang kesedihannya dan tidak mampu melepaskan diri dari belenggunya, maka orang tersebut belum mampu menceritakan kesedihannya dan memendam kesedihan itu bagi dirinya, ia belum mampu melepaskan diri dari permasalahan hidupnya dengan baik, untuk itu diperlukan pihak lain yang mampu mengangkat dan membantunya mengungkap masalah tersebut, setidaknya menampilkannya keluar (walaupun tidak diceritakan), bukan memendamnya.

Bagaimanapun, tulisan cengeng tidak selalu buruk seperti yang terlihat, kita dapat melihat sisi psikologis yang mendalam dan melegakan dari sang penulis karena telah mengungkapkan permasalahan dengan baik dan mampu menunjukkan sebuah makna baru dari permaslahan yang dihadapinya, sebuah permasalahan yang dapat dilihat dari banyak sisi oleh banyak orang, diluar kendali penulis awal namun melegakan...

Senin, Februari 18, 2008

Tentang Memiliki

Kapan anda merasa memiliki sesuatu? Saat anda mempunyai pengetahuan tentangnya. Apa saja yang anda ketahui? Setiap hal yang anda jalani dan anda memiliki pengalaman tentang hal itu, maka anda merasa memliki hal terebut. Hal itu bisa berupa apa saja, selama hal itu pernah menghampiri diri anda dan anda memberikan kesan terhadap pengatahuan itu, baik itu kesan yang baik maupun buruk, baik memilikinya secara materi maupun non-materi.
Jika setiap yang anda ketahui selalu diiringi rasa memiliki maka pengetahuan anda saat ini pun harus diwaspadai dan anda jaga benar keberadaannya, karena sesuatu yang secara non-materi lebih mudah untuk dikuasai dibandingkan pengatahuan anda tentang materi dan anda memlikinya sebagai objek. Penjagaan anda terhadap pengatahuan anda secara non-materi merupakan sesuatu yang mahal dan vital, karena jika anda tidak mampu mempertahankannya maka anda akan mengalami guncangan dan goyah dalam menjalani kehidupan.
Setiap kita mungkin bisa bertahan saat tidak memiliki sesuatu secara materi, baik itu harta, rumah, teman, lingkungan, benda-benda pribadi dalam kamar anda, dan sebagainya walaupun mungkin keadaan bertahan itu sangat payah, namun anda dapat mencapainya kembali dengan usaha baru, kesempatan baru, di tempat baru, suasana baru, begitulah seharusnya. Tetapi tidak memiliki pengatahuan (sesuatu yang non materi), baik itu bernama moralitas, religiutsitas, norma, adab, etika dan sebagainya merupakan mimpi buruk yang mendekati kegilaan, kegilaan yang sangat.
Terhadap apa kita harus bertahan? terhadap serangan dan ancaman rampasan pengatahuan dari orang-orang yang tidak mengetahui banyak sehingga ia serakah, dan ancaman orang yang tahu banyak sehingga ia menindas. Dan beberapa dari jenis ini seringkali kita temui dalam kehidupan ini. Dibutuhkan sikap yang tenang, kritis, berimbang dan pengetahuan tentang "tahu" yang anda ketahui
Tetapi kemudian, mengapa kita harus takut? Dari mana rasa takut kehilangan itu timbul? Adakah bahaya yang mengintai ketika memiliki pengetahuan itu kita biarkan? Apakah memiliki pengetahuan itu dibatasi?
Dorongan yang murni (yang tidak kita ketahui dari mana asalnya) untuk mencapai kebenaran pengetahuan selalu mendorong kita untuk memperbaiki pengetahuan yang kita meliki sebelumnya, dengan up date-an terbaru. Kita memproduksi ulang hal-hal baru dari pengetahuan-pengetahuan lama sehingga dihasilkan produk baru siap pakai yang kemudian kita terapkan dalam keseharian.
Kemudian, tenang asal kebenaran, tentulah ia berasal dari sesuatu di luar diri manusia, karena kebenaran itu tidak dapat dihasilkan begitu saja dari proses berfikir, bahkan proses berfikir anda sendiri bukankah beranjak dari hal-hal di luar diri anda yang setiap hari anda alami? Bukankah generalisasi yang anda lakukan melalui proses berfikir berangkat dari keseharian anda yang anda alami dan anda yakini benar dan salahnya?
Jika kemudian kebenaran berasal dari luar diri kita, maka seharusnya ketakutan terhadap kepemilikan pengetahuan itu tidak perlu berlebihan, yang perlu ditakutkan kemudian adalah ketidakmampuan anda untuk menghadapi kebenaran baru yang datang kepada anda disaat anda memegang teguh dan kuat pengetahuan lama anda, karena itu adalah tindakan yang sangat bodoh sekali.
Tentang pengetahuan yang dibatasi, tentu bukan bahasan yang menarik. Apakah ketakutan anda akan dosa dan melanggar norma menghambat anda untuk mempelajari sesuatu? Apakah ketakutan anda untuk mempelajari ilmu maling, ilmu ghaib dibatasi oleh prasangka orang lain yang mengatakan anda kurang sehat berfikirnya, dan ketakutan mempelajari sesuatu yang tabu apakah karena berimplikasi terhadap dosa? Saya rasa tidak. Yang perlu ditakutkan justru sikap kita yang tidak mau mempeljari sesuatu yang baru tersebut karena ternyata kebutuhan kita akan hal itu nantinya menjadi mutlak. Berhentilah bersikap primitif dan kolot serta sikap berlebih-lebihan.
Kembali kepada bahasan tentang memiliki yang sebenarnya. Apa yang selayaknya kita pertahankan untuk dimiliki? Saya rasa yang utama adalah kesadaran. Kesaadran bahwa kita tidak dapat memiliki seusatu secara mutlak, kesadaran bahwa kita mempunyai pikiran, kesadaran bahwa tidak ada yang benar-benar dapat dipertahankan, kesadaran bahwa sebenarnya saya dan anda tidak benar-benar "sadar".
Karena "sadar" yang disadari mendapat dorongan dari alam bawa sadar yang ingin mengaktualisasikan sebagian dirinya dengan memberikan subjektifitas dirinya yang harus dituruti, diingini, dikuasai dan dorongan dari dirinya yang memberikan arah tujuan, walaupun tujuan tersebut sebenarnya samar.
Jadi, anda memiliki kesadaran dan menyadari itu, tetapi dorongan atas sadar bersandar pada dorongan alam bawab sadar yang mengomandani kegiatan sadar anda tanpa anda sadari. Lalu apa yang dimiliki?

Siapa Yang Bernafsu?

Pernahkah anda berbicara dengan perempuan? Apakah anda merasa nyaman? Kalau saya yang diminta untuk menjawab, akan saya katakan: "Tidak!"

Coba perhatikan gerak-gerik tubuhnya jika ia berbicara. Perhatikan tangan kanannya jika ia menundukkan diri, bukankah tangan itu menutupi dadanya? Perhatikan gerak tangannya jika ia duduk, bukankah ia mengatupkan tangannya pada celah androknya? Dan salah satu kakinya akan diletakkan diatas kaki yag lain?
Perhatikan gerak matanya yang menggoda, seakan-akan melihat isi pikiran anda dan secepatnya mengantisipasi arah pembicaraan jika ia merasa terancam secara seksual? Lihat bagaimana matanya menjelajahi anda dari rambut hingga mulut anda yang sedang berbicara. Perhatikan juga pakaiannya secara keseluruhan yang menunjukkan identitas dirinya yang ingin diperhatikan.
Jelaskan bagaimana ia dapat menjaga dirinya dengan mengulur dan memberi kesempatan kita untuk mendekat? Jelaskan bagaimana rasa percayanya membuat ia seperti berada dalam kamar, sedangkan ia sebenarnya ia sedang di tempat umum? Jelaskan pula bagaimana kata-kata kasarnya tentang hasrat jika ia sudah percaya kepadamu? Dapatkah anda menjelaskan semua hal tersebut tanpa tendensi nafsu sedikitpun?
Jelaskan bibir basah oleh lipstik itu? Jelaskan bedak muka itu? Jelaskan pakaian pendek dan transparan yang memperlihatkan bentuk itu? Jelaskan perawatannya pada rambut dan gerakan tangan mengibas itu? Jelaskan perawatan kuilitnya yang memakan waktu itu? Jelaskan pula rasa tidak peduli yang samar ketika ditampakkan itu? Jelaskan apa itu?
Apakah mata yang melihat tidak terpandu? Apakah pikiran yang lugu tidak tergugu? Katakan padaku, siapa yang bernafsu?

Mencari Pegangan Dari Hal Relative

Menghentikan pemberhalaan terhadap konsep tuhan yang dimiliki oleh manusia dan merelatifkan pemahaman akan kebenaran yang diyakini dengan hati/ kalbu sudah kita bahas.
Lalu pertanyaan timbul? Jika kedua hal tersebut (pemahaman yang selalu mendominasi nilai-nilai keseharian kita) menjadi hilang urgensinya, pada hal-hal apa kita dapat berpegang dan menyandarkan diri?
Bagi saya, kedua hal tersebut tetaplah penting sebagai pendoman nilai hidup keseharian. Aku dapat menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain dengan kebenaran yang aku miliki dan aku yakini. Aku dapat membantah konsep tuhan yang disampaikan oleh orang lain dengan konsep tuhan yang aku miliki (dan tuhanku aku yakini lebih baik dari milik orang lain). Hanya saja, yang menjadi permasalahan adalah saat aku meng-absolutkan kebenaran yang aku miliki dan menganggap diriku lebih baik dan lebih benar dalam hal pengetahuan dan pemahaman akan kebenaran.
Tuhan adalah absolut, pemahaman kita adalah partikular. Bagaimana anda bisa mengabsolutkan pemahaman anda terhadap yang absolut sedangkan anda adalah elemen partikular?
Kebenaran yang kita bawa adalah kebenaran yang bersifat "serpihan kebenaran" dari kebenaran yang tuhan miliki. Tidak benar adanya pemahaman yang dipaksakan. Juga tidak benar adanya nilai religiusitas yang didoktrinkan. Setiap kita berinteraksi dengan yang absolut dengan cara masing-masing dan dengan tingkat pemahaman masing-masing dan masing-masing kita menikmati perasaan religiusitas tersebut dan berusaha sampai mati mempertahankan yang kita miliki.
Bukankah menjadi hal yang menggelikan jika kita memaksakan pemahaman kita sedangkan pemahaman yang kita dapat tersebut berasal dari pengalaman pribadi yang bersifat eksklusif (hanya aku yang mengalami). Bagaimana aku memaksakan perasaan sakit hati terhadap hidup yang keras ini kepada orang yang selalu merasa senang? Tiap diri merasakan pengalaman religius ini secara pribadi dan setiap pribadi berhak berpendapat dan menilai tentang kebenaran.
Begitulah relativitas, kebenaran tetaplah barang mahal yang harus tetap dicari. Tuhan memang milik setiap orang, tapi setiap orang tidak dapat menggeneralisasikan kebenarannya untuk orang lain. Hidup harus terus mencari dan berlatih berinteraksi dengan kebenaran agar dapat dipahami oleh setiap orang.

Sabtu, Februari 16, 2008

Lucu

Pernah mengalami perasaan sakit hati dan menggelikan dalam satu peristiwa? Pertanyaan ini saya ajukan kepada seseorang yang saya kagumi kemampuan intelektualnya, keagamaannya, kerapihannya dan keindahan fisiknya. “Begitulah hidup” jawabnya. Menurutnya hidup yang dijalani ya seperti itulah seharusnya dan biasanya terjadi. Mengalami kontrasitas yang ironi. Disaat keinginan yang besar mendorong dan memberi kekuatan pada saat itu pula keinginan tersebut terpatahkan karena realitas yang diharapkan tidak terjadi dan penolakan terhadap keinginan anda menjadi. Bukankah itu merupakan sebagian dari faktor-faktor rasa sakit hati. Apakah kita akan mengikuti himbauan para filsuf yang berkata bahwa rasa sakit timbul dari keinginan manusia? Maka untukmenghilangkan rasa sakit tersebut kita harus menghilangkan segala keinginan. Kemudian apa? Anda ingin menjadi makhluk religius (dalam bentuk pelarian yang tidak sehat) ? Menganut paham nihilisme? Atau eksistensialisme?
Saya punya sudut pandang sendiri yang berbeda dengannya. Dengan sosok yang saya kagumi tersebut. Saya mencoba untuk melihat dengan cara pandang yang lebih jauh (setidaknya menurut saya) dari sudut pandang yang lebih ceria. Bagi saya, rasa sakit yang timbul dari adanya penolakan terhadap keinginan besar tersebut adalah salah satu bentuk “tolakan” yang mendorong kita untuk melihat lebih jauh dan lebih tnggi sehingga dapat melihat hikmah (setidaknya begitu menurut saya) dari adanya penolakan tersebut. Mungkin sekali penolakan tersebut ternyata adalah baik bagi kita, mungkin juga kita tidak menyadari bahwa jika keinginan tersebut terlaksana maka akan berakibat buruk dan mendatangkan musibah. Namun, itu kurang rasional, lebih cenderung bersifat regresi (penolakan terhadap kenyataan dengan mencari alasan-alasan yang cukup masuk akal namun kurang didukung fakta).
Menurut saya, yang rasional adalah mencari timbangan-timbangan yang rasional dengan mencari terlebih dahulu fakta-fakta pendukung yang mengakibatkan peristiwa penolakan tersebut terjadi. Hal ini memang membutuhkan kerja keras dan kerja pikir yang cukup melelahkan namun efektif guna dalam mencari jawaban terhadap ketidakpuasan yang timbul tersebut. Bahkan bisa saja peristiwa tersebut dilihat dari sudut pandang “tuhan”. Mungkin sekali tuhan ingin menunjukkan salah satu bentuk kuasanya kepada manusia. Bukankah Tuhan pernah berfirman tentang hal ini, dimana “Saat padi-padi/ hasil bumi tersebut telah menguning dan siap panen (sehingga menyenangkan penanamnya), maka Tuhan menjadikan kebanggaan tersebut menjadi hangus keesokan harinya seakan-akan tidak pernah ditanam apa-apa, dan manusia berkata: celakalah aku” hal itu karena sebelumnya ia berkata “Sesungguhnya hasil panenku tahun ini begitu melimpah, aku tidak melihat satu faktorpun yang mampu menandingi hasil panenku tahun ini”. Inilah peringatan Tuhan, dan Tuhan ingin mengembalikan hamba-Nya yang lupa tersebut kepada-Nya.
Jika sudut pandang itu yang kita pilih, maka tentu peristiwa tersebut menjadi sakit dan menggelikan bukan? Tuhan sedang bermain-main dengan kesombongan. Manusia menjadi sombong dengan kemampuannya, dan Tuhan bermain dengan kesombongannya dengan menunjukkan kuasanya. Dan karena tuhan yang lebih berkuasa, maka manusiayang kalah.
Anda ingin tahu dari mana pertanyan diatas timbul? Sejujurnya pertanyaan itu datang beberapa waktu setelah saya mengalami penolakan dari orang yang saya kagumi tersebut saat saya mengutarakan kekaguman saya padanya....

Jumat, Februari 15, 2008

Bagaimana Cara Yang Tepat Dalam Memahami Isi Al Qur’an Agar Mampu Mengikuti Perkembangan Sains Dan Perubahan Sosial

Menurut saya, sangat kecil kemungkinannya kita mampu memahami dan mengamalkan isi ajaran al qur’an secara pasti tepat kecuali pada masa Nabi saw masih hidup. Bahkan, pada zaman Nabi saw sekalipun ia mengajarkan untuk menggunakan ilmu pada daerahnya masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam hadits:
Antum a’lamu min ‘umurid dunyakum
“Kalian lebih mengetahui urusan duniamu”
Juga:
“Barangsiapa yang menginginkan akhirat menggunakan ilmu, barangsiapa yang menginginkan dunia juga menggunakan ilmu, barangsiapa yang menginginkan keduanya juga menggunakan ilmu”
Hal tersebut diatas mengisyaratkan bagi kita untuk membicarakan masalah keduniaan pada ahlinya. Jadi, kurang tepat dikala ahli agama/ ‘ulama berbicara mengenai sains dan perubahan sosial. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika ada ahli agama/ ‘ulama menguasai sains dan perubahan sosial kemudian menerapkan pengetahuannya tersebut di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Hanya perlu diingat, sebagai mana yang telah dibahas sebelumnya bahwa sains dan perubahan sosial bersifat tidak mutlak benar sebagaimana Al Qur’an, maka penafsiran tersebut bersifat tidak tetap dan tidak mutlak benar. Kebenaran penafsirannya hanya berlaku pada zamannya. Zaman dimana sains dan perubahan sosial tersebut masih relevan dan diakui serta dianut oleh masyarakat pada periode tersebut.
Subjektifitas keilmuwan dimiliki oleh mufassir tentunya amat relevan hanya pada masa ilmu yang dimilikinya masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Untuk itu, saya menolak pertanyaan pada bahasannya ini yang menginginkan cara yang tepat agar penafsiran Al Qur’an dapat mengikuti perkembangan sains dan perubahan sosial budaya. Tidak ada cara yang tepat secara pasti. Yang ada hanyalah penafsiran yang bergantung pada situasi keilmuwan dan hidup kemasyarakatan yang berlaku pada masa mufassir hidup.
Sebagai contoh jika kita ingin membandingkan konsepsi fisika tentang penciptaan alam itu dengan ajaran Al Qur’an, dapatlah dikutip buku karangan Prof. Achmad Baiquni M.Sc, Ph.D yang berjudul: Al Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam ayat 30 surat Al Anbiya:
“Artinya: Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya itu”
Menurutnya, keterpaduan ruang dan materi seperti dinyatakan di dalam ayat itu hanya dapat kita pahami jika keduanya berada di satu titik; singuralitas fisis yang merupakan volume yang berisi seluruh materi. Sedangkan pemisahan mereka terjadi dalam suatu ledakan dasyat atau dentuman besar yang melontarkan materi ke seluruh penjuru ruang alam yang berkembang dengan sangat cepat sehingga tercipta universum yang berekspansi.
Terlihat dalam contoh diatas bahwa Achmad Baiquni mencoba memadukan ilmu pengetahuan modern tentang penciptaan alam dengan Al Qur’an. Hal ini berisi penegasan yang cukup padat, bahwa ia seorang ilmuwan yang Islami. Walaupun tidak disertai sanggahan terhadap ilmu pengetahuan tentang penciptaan alam yang lainnya, namun jelas terlihat bahwa ia terpengaruh oleh ilmu pengetahuan alam yang populer, sehingga mempengaruhinya dalam menafsirkan Al Qur’an.

Antara Percepatan Teknologi dan Budaya

Teknologi yang semula dipuja sebagai langkah maju peradaban manusia yang mengantarkannya menuju peradaban tinggi, ternyata menyisakan masalah. Hal ini karena teknologi ternyata tidak murni dan netral, tetapi membawa serta pemikiran-pemikiran dan ideologi penyertanya yang justru mengekspansi nilai-nilai asli budaya bangsa melalui ideologi-iodeologi dan sistem berfikir, sebut saja sekularisme, humanisme da materialisme.
Tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari aspek teknolgi yang dituding paling andil menghasilkan produksi yang melimpah dalam banyak bidang. yang ternyata tidak saja menghantam ekologi dan makhluk hidup berupa hancurnya spesies-spesies hidup, tetapi melihat sisi kehancuran kebudayaan bangsa yang berlangsung secara perlahan namun berjalan dengan langkah mantap dan berpotensi meluluhlantakkan.
Setidaknya, terdapat dua golongan besar yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh manusia ini, khususnya dari Barat.
Golongan pertama, adalah masyarakat umum yang terpengaruh secara langsung dan berperan aktif dalam kemajuan ini. Jika dikategorikan secara umum, terdapat tiga kelompok reaksi. Kelompok pertama, adalah masyarakat umum yang terkaget-kaget dengan ekspansi teknologi yang ada. Hal ini mengakibatkan golongan ini mengadopsi secara buta dan menganggap hal ersebut sebagai sebuah kemajuan yang membanggakan, karena dapat menaikkan status diri di masyarakat dan membantunya menikmati fasilitas hidup. Kelompok kedua, adalah golongan pelajar yang mendapat pendidikan kurang matang sehingga menimbulkan sikap pragmatis. Lulusan-lulusan ini umumnya menjadi ‘users pasif’ atau pengguna serta operator dari kemajuan tersebut, dan menganggap apa yang dilakukannya adalah hebat dan terpandang, lebih tinggi kedudukannya dari golongan satu. Motif utama yang melatar belakangi kelompok ini umumnya adalah ekonomi. Kelompok ketiga, adalah para cendekiawan dan budayawan serta pemerhati lainnya, khususnya bidang budaya. Pada tingkatan ini, para pemerhati dampak teknologi mampu melihat sisi-sisi kelemahan dari teknologi yang yang dianggap sebagai panglima perang peradaban. Suatu bangsa telah mendapat nilai-nilai standar kemajuan yang ditentukan oleh bangsa lain dan pemikiran tertentu. Tentu saja hal ini mengakibatkan tergerusnya budaya lokal dan kebijaksanaannya yang telah terlebih dahulu berurat berakar dalam masyarakat .
Golongan kedua, yang bereaksi terhadap kemajuan teknologi ini adalah golongan marjinal. Baik itu orang tua yang mendapati teknologi tersebut datang di kala usianya menjelang senja, ataupun golongan yang lebih muda, namun mendapat payung budaya yang ketat dari masyarakatnya sehingga keaslian nilai-nilai budayanya masih terus dipegang. Umumnya, golongan ini sulit menyesuaikan diri dengan kehadiran kekerasan tangan besi teknologi dan merasa menjadi sub-ordinat pelengkap dari kemajuan. Terlebih, mereka sering dijadikan contoh masyarakat yang terbelakang, bodoh, belum maju dan beradab, sehingga memojokkan posisinya kesudut. Dari segi intern sendiri, mereka merasa terkucil, teralienasi. Hal yang mengakibatkan mereka membenamkan diri dalam keketatan budaya serta asyik dengan dunianya sendiri, merespon negatif dampak ekspansi teknologi secara umum. Pemikiran ini justru membuat posisinya menjadi semakin marjinal. Nasib malang lainnya, jikalaupun penguasa adat /elit setempat memiliki kepedulian terhadap mereka, hanya menonjokkan motif ekonomi saja, seperti membudayakan tarian-tarian tertentu untuk menyambut tamu, upacara ritual tertentu untuk menolak bala atau mendatangkan kemakmluran sehingga menjadi jajanan wisatawan dan pejabat negara yang ingin melihat sesuatu yang unik dan khas daerah tertentu. Tentu saja, makna tarian dan ritual-ritual tersebut telah hilang dan tidak mempunyai dampak apapun lagi, karena kesakralan religius/ nilainya telah hilang menjadi kesakralan/ nilai materi
Perlu kiranya bagi kita untuk menemukan solusi terhadap permasalahan ini, sehingga jurang pemisah yang terlalu dalam antara teknologi dan budaya mampu bersinergi memajukan budaya lokal. Salah satu respon yang mungkin adalah dengan melakukan perubahan internal budaya itu sendiri. Sudah saatnya budayapun mengalami percepatan sebagaimana hal-hal lainnya yang digembos-gemboskan oleh arus besar teknologi.. budaya bangsa ini perlu mendapatkan nilai-nilai barunya dengan dukungan pemikiran yang sitematis, penuh nilai, dan mampu berdiri sendiri dalam menghadapi angin deras pemikiran yang dibawa oleh teknologi. Pendek kata, penataan internal budaya perlu diawali dengan pemantapan langkah nya dibidang pemikiran, baru kemudian melangkah menuju pengenalan diri dan pengambilan sikap terhadap nilai-nilai teknologi yang turut serta membawa ideologi maupun pemikiran..
Strategi ini semoga mampu membelokkan arus teknologi tersebut dengan tanpa menghilangkan kristalisasi nilai-nilai kepercayaan dalam masyarakat. Jika dapat dijadikan bahan perbandingan, sebagai contoh adalah kebudayaan masyarakat Jawa. Dahulunya, untuk dapat memasukkan suatu kepercayaan agama saja ke dalam masyarakat perlu menyiastinya dengan melakukan akulturasi dengan nilai-nilai animisme masyarakat sekalipun hal tersebut menjadikan kemurnian agama menjadi tercoreng (seperti yang dilakukan oleh para wali songo). Barulah kemudian, secara perlahan budaya tersebut mengambil hal-hal positif dari kepercayaan dan merubahnya dalam kadar tertentu untuk kemudian mendapat pemakaian ulang. Hal ini menyiratkan suatu gerakan dinamis dari suku bangsa tersebut.
Namun, ternyata sikap tersebut tidak sama ketika menghadapi teknologi yang membawa budaya ‘modern’ dibelakangnya. Inilah yang dimaksudkan dengan percepatan diatas. Kita perlu melakukan kristalisasi kembali terhadap nilai-nilai baru tersebut dengan melakukan akulturasi dan pemberian makna-makna yang relavan dan mampu diterima oleh umum serta disambut gembira oleh pemegang saham nilai-nilai asli budaya bangsa ini.
Inilah sejarah bangsa dan budaya kita sebenarnya. Cara ini telah berlaku dalam rentang waktu yang lama dan menyiratkan pemahaman kita yang mendalam menghadapi arus pemikiran dari luar. Bukan dengan mengadopsi secara taqlid buta seperti yang terjadi pada kebanyakan generasi kita belakangan ini. Namun, bukan berarti pula mengajarkan nilai-nilai sukuisme baru dalam bentuk yang merusak.
Tidak bermaksud mengajak sikap yang a priori terhadap teknologi, namun penggerusan yang terjadi yang sedikit banyak dilakukan olehnya perlu disikapi, sehingga identitas bangsa ini tetap bertahan, terlebih demi nilai-nilai budaya yang kita miliki, karena ternyata teknologi ini dari negara asalnya sedang mencari-cari nilai budaya dan kerifan lokal di luar dirinya (artinya budaya-budaya lain) dalam menghadapi keganasan gerakan progressif teknologi (dan pemikiran penyertanya).
Jadi, kita dapat menyumbangkan ciri khas nilai budaya kita sebagai alterntif bagi penyelesaian masalah tersebut. Karena kita mampu untuk bergerak selaras dengan kemajuan pesat teknologi tanpa menghilangkan budaya lokal yang penuh nilai, keserasian dengan alam, saling menghargai antar suku bangsa sesuai dengan ideologi bangsa kita yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini.

Tentang Keseimbangan

Pernah dengar tentang konsep “mizan”? Bahwa sesungguhnya Tuhan telah menciptakan mizan dalam dunia ini. Mizan yang dimaksud adalah takaran, atau ukuran, atau keseimbangan. Jadi, ada titik tertentu dimana jika segala ciptaan mengalami sebuah extrimitas tertentu, maka akan terjadi sebuah peristiwa dengan ekstrimitas serupa namun dengan arah yang berlawanan. Hukum ini juga telah dikemukakan oleh Newton dengan hukum keseimbangan universalnya.
Berikut beberapa peristiwayang mungkin pernah terjadi pada diri kita yang berhubungan dengan konsep keseimbangan tersebut. Yang pertama; mungkin kita pernah menyukai lawan jenis dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi. Segala upaya yang kita punya telah kita keluarkan untuk menunjukkan bahwa kita memiiki perasaan yang serius dan tidak main-main dalam hal percintaan. Bukan hanya perasaan yang tercurah secara maksimum, namun juga pikiran, tenaga, bahkan materi/ harta yang kita miliki telah kita keluarkan secara maksimal untuk mendapatkan hal dimaksud. Namun, pada umumya usaha yang seperti itu mendapatkan reaksi dengan ekstrimitas serupa namun berlawanan, yaitu ditolak! Bahkan mungkin disertai dengan rasa jijik dan menjemukan. Pendek kata, anda tidak mendapatkan keinginan anda dengan tingkat ekstrimitas yang berlebihan.
Jika anda tipe yang cepat putus asa, mungkin anda tidak berfkitr mengapa hal ini terjadi, bukankah anda merasasudah melakukan yang terbaik dan yang terbaik pula yang anda tampilkan kepada pasangan anda. Mungkin berikutnya anda akan melakukan beberapa reaksi berlebihan lagi untuk mengimbangi rasa sakit yang berlebihan karena penolakan yang dilakukan pujuaan hati anda. Bisa jadi pelarian anda adalah mabuk, kekerasan, atau menyiksa diri dalam kamar, dan sebagainya ( anda yang lebih paham).
Dalam kasus diatas, berlaku jika anda ditolak, bagaimana jika anda diterima oleh pasangan anda?. mungkin anda akan merasa senang pada awal mula percintaan anda. Tetapi, seperti teori bola bandul, anda harus kembali kepada titik keseimbangan anda. Akan terjadi beberapa kekecewaan besar pada anda dengan rasa cinta anda yang berlebihan tersebut. Bisa jadi hal tersebut adalah: pasangan anda ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan anda diluar penerimaan cintanya. Bisa jadi ia kemudian pemalasnya minta ampun, atau cueknya minta ampun.
Apa yang seharusnya kita lakukan? Mungkin ada baiknya jika kita mulai bertindak pada porsi yang seimbang. Mulailah berpikir dan bernafsu secara seimbang, bergerak dengan penuh perhitungan dan reaksi yang cukup untuk menanggapi sikap/ perilaku sosok cinta anda. Berperilaku secara seimbang mampu membuat diri dan jiwa anda lebih sehat dan lebih dewasa.
Atau ada lagi contoh lain yang sedikit religius. Setiap kita mungkin sekali pernah mengalami peristiwa hidup yang masuk kategori cukup “berat”. Permasalahan yang dihadapi terasa sangat menyentuh jiwa anda, menguras tenaga dan pikiran anda, bahkan mungkin berpotensi membuat anda jadi gila!. Bisa saja peristiwa itu kecelakaan, putus nya hubungan dengan yang dcintai, anda dicari pihak berwajib, dan lainnya. Setiap waktu anda dihantui oleh perasaan tersebut, bahwa peristiwa yang ada alami merupakan peristiwa yang terbesar dan terberat bagi anda, bahkan rasanya tidak ada peristiwa lain yang lebih berat dari hal tersebut, sehingga apa yang dialami oleh orang lain menjadi sepele. Pendek kata, hanya masalah kita saja yang paling berat, paling hebat, paling menguras tenaga dan paling patut untuk diperhatikan.
Saat anda menuju ekstrimitas tersehut, anda butuh tempat pelarian yang berlawanan untuk mengimbangi perasaan takut anda tersebut. Tempat pelarian yang mampu memberikan ketenangan sebesar ketakutan anda sehingga anda merasa tersirami dengan kesejukan, kedamaian dan ketenangan setelah sebelumnya anda dihinggapi perasaan takut, tidak tenang dan gelisah. Mungkin anda akan berlari menuju agama. Setiap waktu anda habiskan untuk berdzikir, tiap malam anda bangun dengan kesiapan penuh dan pengharapan yang luar biasa tehadap Tuhan.
Namun, titik keseimbangan itu harus terjadi, bisa saja anda akan menemui kendala lagi/ masalah lain yang mengguncang pemahaman anda terhadap agama. Apa sebab? Karena anda beragama dengan cara yang tidak sehat. Bisa saja anda kemudian menuntut bertemu Tuhan, mendapatkan wahyu, dan hal-hal ekstrem lain yang tidak mungkin terjadi kecuali Tuhan menciptakan mukjizat baru dimana hal itu khusus terjadi pada diri anda. Karena keinginan anda tidak terjawab, maka keyakinan anda akan goyah, anda mulai mempertanyakan keabsahan doktrin agama yang selama ini anda pegang dan yang anda yakini.
Dalam beberapa kasus, mungkin sekali akan menjadi sebuah ekstrimitas baru didunia agama. Anda akan mulai menyalahkan sikap keagamaan orang lain, bahkan mungkin para ulama dan sarjana-sarjna agama akan anda kritik habis-habisan. Jadi, anda bergerak dari satu ekstrimitas yang satu menuju ekstrimitas yang lain. Jika ini yang terjadi, bersiaplah untuk selamanya anda merasa tidak tenang, tidak nyaman dan tidak bisa menikmati hidup.
Bukan berarti saya tidak menyukai keseriusan anda / orang lain dengan sikap ekstrim tersebut. Hanya, jangan sampai sikap tersebut justru menututp akal sehat kita yang kemudian menimbulkan konflik baru dengan lingkungan setelah sebelumnya kita melakukan hal yang sama (konflik) pada hal lain.
Saya setuju dengan konsep hedonis. Bukan dalam konsep hedonisme yang sekarang umum dipahami, tetapi hedon sebagai sebuah konsep keseimbangan. Begini kira-kira: untuk menikmati hidup ini, anda harus memiliki badan yang sehat. Karena badan sehat adalah sebuah kebutuhan untuk menikmati hidup, maka kita harus menjaga agar tubuh ini selalu sehat, maka perilaku yang buruk seperti begadang, tidak pernah berolah raga, mabuk-mabukan, dan perilaku menyimpang lainnya jangan dilakukan, karena anda akan menjadi sakit, menyakiti orang lain dan lingkungan dan pada jangka panjang anda tidak mampu menikmati hidup. Inilah konsep hedonis yang saya maksud dan saya ingini.

Tentang Ideal

Dalam menjalani hidup, manusia mencari nilai-nilai ideal dalam hidupnya dalam keseharian hidup yang dijalani. Dalam perjalanannya tersebutlah kemudian ia menemukan nilai-nilai ideal yang dianggap cocok untuk mewakili identits diri dan keinginnannya terhadap sebuah manusia ideal/ sempurna. Nilai –nilai ini kemudian dilestarikan dan dipertahankan sebagai bagian dari dirinya dan paling mewakili dirinya. Nilai-nilai tersebut pula yang menjadi filter dan pedoman terhadap nilai-nilai lain yang datang kemudian atau mencoba untuk menggerus kemapanan dirinya yang sedang mencari eksistensi.
Sebagai contoh: nilai-nilai terhadap sosok ideal dan sosok pasangan ideal. Tiap kita tentu memiliki konsep tersendiri terhadap pakaian, bentuk tubuh, kepedulian terhadap wacana tertentu, perilaku tertentu terhadap orang lain. Sertiap kita tentu menggunakan nilai-nailai tertentu untuk menghadapi orang lain dengan menggunakan nilai-nilai yang kita percayai “baik”. Karena nilai-niliai tersebut kita pedomani, otomatis kita membiasakan diri terhadap penggunaan nilai tersebut. Kita ingin orang lain menganggap diri kita sebagai sosok yang seperti “itulah”. Seperti yang kita tampilkan kepada orang lain tersebut.
Namun tak dapat dipungkiri, tidak semua nilai ideal yang kita miliki dapati kita laksanakan semua. Tidak semua hal-hal baik yang kita senangi dapat kita lakukan dan terapkan untuk diri kita sendiri. Dari situ timbullah pengalihan nilai-nilai ideal yang kita senangi kepada orang lain. Sosok tersebut bisa orang tua, teman, sahabat, bahkan pasangan hidup yang kita ingin harus berada dalam kerangkan “ideal” yang kita miliki.
Hal itu sah-sah saja, karena dengan begitu kita telah menunjukkan eksistensi diri kita yang berbeda terhadap orang lain. Cara pandang kita sendiri yang unik (yang sebenarnya cara pandang/ nilai-nilai tersebut kita dapatkan dari orang orang-orang disekeliling kita namun telah mengalami penyesuaian dan “modifikasi yang paling pas” dengan selera kita). Eksistensi ini lah yang menjadikan diri kita punya nilai, punya harga diri, punya martabat dan punya “karakter”
Dari sini timbullah “clash”/ konflik terhadap lingkungan, terhadap orang lain, terhadap cara pandang yang dimiki orang lain. Orang yang tidak dapat melihat persoalan dengan jernih, akan memaksakan nilai-nilai dari dirinya kepada semua hal yang dihadapinya dan tidak dapat melihat bahwa cara pandang lain masuk katergori yang juga “benar”. Jika kita mau berfikir ulang (seperti yang disebutkan diatas), sebenarnya cara pandang kita ditentukan oleh lingkungan keseharian, maka, cara pandang orang lainpun diciptakan oleh dirinya baik sadar maupun tidak melalui interaksinya dengan lingkungan hidupnya pula. Dan apa yang ia lakukan dalam kesehariannya (cara pandangnnya) merupakan benar dan unik untuk dirinya dan paling pas baginya. Maka, konflik ini tidak akan menjadi lebar jika mampu dipahami dari sudut pandang ini.
Kembali kepada sosok ideal. Penyesuaian sosok ideal yang kita miliki umumnya mendapat tekanan dari kita (berupa pemaksaan) kepada orang yang kita harapkan paling mampu untuk melaksanakannya.. ambil saja contoh kekasih yang didambakan. Jika kita termasuk orang yang memperhatikan penampilan, maka yang paling mungkin sosok yang kita ingini adalah yang juga memperhatikan penampilan, tidak jorok atau “slenge’an” dan tahu kesopanan. Jika kita rajin berolah raha atau memakai pakaian yang slim/ agak seksi / macho, maka paling mungkin kita menginginkan sosok kekasihyang seksi, tidak gemuk atau terlalu kurus dengan proporsi badan yang seimbang, begitu seterusnya. Secara singkat, sosok ideal yang kita ingini adalah cerminan dari perilaku keseharian kita. Hal ini mungkin dapat bermanfaat jika anda mencari sosok pasangan ideal (jika anda masih sendiri...) kenalilah dulu dan pelajari seperti apa kesehariannya, maka anda dapat melihat kriteria sosok idamannya. Jadi anda punya perhitungan jika ingin mendekati lawan jenis, tidak main “gerabak-gerubuk” langsung tembak.
At last, tidak semua dan tidak mungkin semua hal dalam idealisme anda dapat terlaksana dan terealisasikan semuanya. Anda harus realistis, karena dunia ini tidak mungkin melaksanakan semua keinginnan anda, meskipun anda punya kekuasaan dan harta yang banyak untuk memaksakan semuanya terjadi. Setiap kita memiliki cara pandang / idealisme masing-masing dan setiap kita bergerak menuju arah aktual untuk merealisasikan potensialitas nilai-nilai ideal yang dimiliki. Bukan salah kita jika benturan terjadi, karena memng begitulah hidup, bahkan dengan benturan-benturan tersebut kita menjadi punya standar hidup yang paling mungkin. Paling mungkin untuk dilaksanakan (karena semua potensi tersedia) dan paling tidak mungkin (karena potensi untuk melaksanakannya tidak anda miliki). Salam

Note: niliai adalah pemahaman yang diyakini (baik benar maupun salah)

Rabu, Februari 13, 2008

Relativitas Kedua

Bismillahi ar-rahmaan ar-rahiim
Berikut adalah pandangan saya mengenai pemberhalaan terhadap konsep “tuhan” dalam hati. Kita sebenarnya masing menggunakan pemberhalaan tuhan dalam konsep hubungan. Perangkat yang dituju dalam hal ini adalah hati. Hati yang berfungsi menghasilkan sistem nilai/ moralitas umum, dipakai sebagai jembatan penghubung dalam interaksi. Baik interaksi sesama manusia maupun dalam interaksinya dengan wilayah absolut.

Hati adalah perangkat alat kontrol yang abstrak (bukan benda) yang umum dipakai dalam menghasilkan seperangkat hukum/ etika yang dapat dipakai dalam wilyah manapun.
Dalam bentuk yang kecil, misalnya keluarga, kepala keluarga yang mendapat kewenangan penuh mengontrol tingkah laku dan perilaku individu dalam keluarga menggunakan perangkat hati sebagai standar kebaikan dan etika/ moral yang harus dilaksanakan. Hal ini diyakini akan menghasilkan keselamatan, keseimbangan, dan kebahagiaan. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, hati dapat digunakan sebagai moralitas dasar untuk menentukan hukum, baik masyarakat maupun negara. Semboyannya adalah “berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain” atau “jangan mencubit orang kalau tidak ingin di cubit” (lihat Immanuel Kant).

Kecenderungan untuk menjadikan manusia menjadi absolut umumnya karena hubungan yang ekslusif dan personal antara manusia dan tuhan tidak pernah mendapat kritik. Belum lagi mayoritas meyakini bahwa qalbu/ hati mampu membawa kebenaran yang suci, walaupun belum pernah terjadi pembahasan secara sistematis mengapa hati mampu menunjukkan kebenaran tanpa distorsi apapun.

Terlebih, suara hati seringkali diartikan sebagai suara tuhan yang mengilhami manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam ilmu psiko analisa, kehendak hati merupakan dorongan-dorongan alam bawah sadar yang menuntut perealisasian diri, artinya bahwa kita harus berfikir kritis juga dalam wilayah hati ini. (Beberapa ahli agama/ pemerhati agama, mulai menyebut nilai moral yang dihasilkan oleh hati ini sebagai “nilai-nilai universal” demi mempertahankan diri menghadapi serangan ilmuwan yang mulai merambah wilayah ini.)

Ada contoh konkret dimana seorang ulama yang mendasarkan pemahaman agamanya melalui hati ini; Wahyu Al Qur’an merupakan kitab yang ajaib dan unik. Semua orang dari berbagai disiplin ilmu dan tingkat pemahaman dapat membaca dan berinteraksi secara religius dengan Al Qur’an. Bahkan jika ia tidak dapat menterjemahkan artinya sekalipun, ia tetap mendapatkan nuansa religius yang kuat dalam interaksi ini. Begitupun halnya dengan ulama tersebut.

Ia tidak mendapatkan ilmu dan metodologi tafsir Al Qur’an dan ilmu Hadits yang memadai (karena ia sarjana di bidang lain) tapi ia mampu meyakinkan orang lain bahwa apa yang ia katakan adalah agama. Ia menggunakan perangkat hati dalam pendekatannya dengan yang absolut. Karena yang ia katakan adalah agama, maka kebenaran yang ia paksakan kepada orang lain bersifat mutlak harus diterima dan benar, sebagaimana ia meyakini bahwa tuhan juga mutlak dan benar. Artinya ada sinkronisasi antara pemahamannya dan tuhan. Hal ini menimbulkan kekuasaan, baik itu secara implisit maupun eksplisit.

Ini adalah contoh buruk, tapi umum terjadi, baik itu disadari maupun tidak disadari oleh individu tersebut. Manusia adalah makhluk yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari pengalaman dan semangat zamannya. Artinya, tidak ada manusia yang berada di wilayah netral sehingga kebenaran yang ia dapat (jikalau kebenaran yang ia yakini benar adanya) berlaku untuk semua tempat dan zaman dan dapat diberlakukan untuk semua manusia. Para ulama zaman dahulu pun (yang kita yakini lebih baik keilmuwan agamanya), sering terdistorsi oleh keilmuwan pada zamannya yang jika kita gunakan perangkat keilmuwan masa sekarang akan menonjol sekali kesalahannya.

Kemudian, bagaimana sikap kita? Menurut saya, karena kebenaran yang absolut murni tidak dapat dimiliki makhluk, maka perangkat hati inipun tidak boleh hilang daya relativitasnya. Yang terbaik adalah dialog, mencari sintesis dan tesis dan anti tesis yang kita yakini. Dan karena kebenaran sesuai dengan semangat zaman, maka pintu ijtihad dan pemikiran tidak boleh ditutup dan selalu dilestarikan budaya untuk membuka pikiran dan peluang terhadap sikap-sikap moral baru.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakaatuhu

Selasa, Februari 12, 2008

Menjadi Manusia Sadar


“Barang Siapa Yang Mengenal Dirinya, Maka Akan Mengenal Tuhannya” kalimat tersebut sering kita dengar, baik itu dari ‘ulama, orang pintar maupun buku-buku yang tertulis. “Gnothi Seauton” begitu Sokrates bilang. Tokoh Filsuf asal Yunani inipun mengumandangkan hal yang sama.

Apa maksud dari paragraf pertama diatas?. Sebelum mengkaji lebih jauh, terlebih dahulu akan saya terangkan tulisan pengantar, agar pemahaman yang didapat dari kalimat-kalimat tersebut dapat dengan mudah masuk dalam pemahaman kita.

بسم الله الرحمن الرحيم

Kita hidup di zaman pencitraan. Zaman dimana segala sesuatu yang ada mengalami peningkatan makna secara berlebihan. Sebut saja seperti musisi idola yang ditampilkan setiap hari oleh televisi. Sosok idola tersebut tampil dengan dandanan yang menarik, cantik, mewah, hidup dengan kesenangan, dikelilingi dengan kemewahan, hidup enak, makanan enak-enak, pakaian banyak dan sebagainya.

Kita selaku orang yang mengkonsumsi citra tersebut akhirnya mengendapkan citra tersebut di kepala kita. Orang yang menginginkan menjadi musisi top, selalu membanyangkan dirinya dikelilingi dengan wanita cantik, makanan enak, ketenaran, kehadirannya disambut dimana-mana, mobil, rumah, pakaian dan makanan yang mewah, dan sebagainya. Jika kita berniat seperti itu, maka kita pun sebenarnya sudah menjadi korban dari gejala pencitraan tersebut. Yang lebih menghebohkan lagi, mungkin sekali diantara kita yang rela mati demi mempertahankan citra-citra tersebut, meskipun kita tidak sadar bahwa hal tersebut adalah omong kosong dan penipuan.

Contoh lain yang dapat diberikan misalnya, produk konsumsi. Sebut saja Sunsilk bagi perempuan. Shampoo ini seakan-akan menjadikan percaya diri kita bertambah jika kita menggunakan Sunsilk, seakan-akan ketombe yang menghalangi kita mendapatkan jodoh telah hilang untuk selamanya, berganti dengan rambut sehat bebas ketombe yang akan membuat seluruh pri jatuh cinta. Atau, merk air mineral Aqua. Setiap kali kita membeli minuman, selalu mengatakan “Beli Aqua” padahal, yang kita beli adalah merk Grand, Tripanca, atau lainnya. Ini contoh konkret, bagaimana kita setiap hari selalu dijejali berbagai macam pencitraan yang berlebihan terhadap banyak hal. Jika anda merasa bahwa anda memang seperti itu, sudah saatnya berubah dan memperbaiki pemikiran anda, karena anda sedang menjadi robot konsumtif, yang diciptakan oleh para produsen produk agar selau membeli barang mereka, meskipun hal tersebut tidak bermanfaat sedikitpun bagi anda.

Untuk menjadi makhluk manusia yang sadar akan dirinya, anda harus melihat diri anda apa adanya. Tidak perlu anda memamerkan benda-benda materi yang ada pada diri anda atau milik orang tua anda walaupun anda merasa bahwa diri anda menjadi lebih Pe-De dan seakan-akan perhatian semua orang tertuju pada diri anda. Jikalau anda melakukan itu, berarti anda sedang melakukan pencitraan terhadap orang lain disekeliling anda, bahwa menggunakan benda-benda materi tersebut menaikkan harga diri, status dan kewibaan anda.

Jikalau anda masih kurang yakin, jawablah pertanyan berikut ini: Apa Yang Sebenarnya Anda Miliki?

Karena anda pada hakikatnya tidak memiliki apapun didunia ini, bahkan terhadap hidup yang anda jalani setiap hari. Lalu apa yang menjadi kebanggaan anda? Seharusnya tidak ada, bukan? Bahkan amal perbuatan anda yang anda rasa baik dan mempunyai nilai pahala, tidak bernilai apapun bagi Allah, karena Allah tidak mamsukkan seorang hamba-Nya karena amalnya, termasuk Rasulullah saw (lihat hadits). Tetapi masuknya beliau dan pengikutnya ke surga adalah karena rahmat Allah SWT.

Jikalau pembahasan diatas sudah cukup membantu anda untuk mengenali diri anda, maka sekarang saatnya kita membahas aspek lain dari diri manusia yang saya coba rangkum dari ayat-ayat Al Qur’an.

Dahulu kala, manusia adalah sebuah Tanah/Tembikar yang dibentuk yang tidak memiliki kemampuan apapum, bahkan belum dapat disebut sebagai sesuatu (76:1-3). Kemudian, Allah meniupkan ruh-Nya (7:172) kepada manusia sehingga memiliki kehidupan (15:29/38:72). Dan ulama sepakat bahwa manusia pertama adalah Adam, yang kemudian dibekali dengan pengetahuan (2:31,33). Dan kerana pengetahuannya tersebutlah, maka Tuhan memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk tunduk (hormat) kepada manusia(2:34/7:11,12/17:61). Ini melambangkan, bahwa manusia memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Namun, bukan berarti kemudian kita tidak memiliki sifat penyembahan seperti Malaikat, Jin, Iblis maupun yang lainnya. Pada hakekatnya, manusia adalah abdi atau penyembah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang mengatakan bahwa sebenarnya jin dan manusia diciptakan untuk menyembah kepada-Nya (51:56)

Karena seluruh alam ini merupakan ciptaan Allah, maka semua hal yang kita hadapi, maupuan pada diri kita sendiri, melambangkan Allah sang pencipta. Anda melihat gunung, kemudan terpesona dengan keindahan, keagungan, keperkasaan,. Pada hahikatnya anda sedang mengagumi Allah juga. Anda mengagumi lawan jenis yang cantik ataupun tampan, itupun sebernarnya anda sedang mengagumi Allah. Namun, karena hakikat ini tersembunyi, maka anda terkadang terperangkap oleh pencitraannya, bahkan mencintai sampai mati pencitraan itu, bukan mencintai hakikatnya.

Anda mencintai Ani yang cantik, anda akan berusaha untuk mendapatkannya, apapun cara dilakukan, bahkan anda rela berkorban untuknya. Anda berarti sudah mencintai citra tuhan yang ada pada diri Ani, dan sudah melupakan cantik hakiki yang dimiliki oleh Allah. Jikalau ini menghantui anda, selamanya hidup anda akan merasa tersiksa, karena anda hanya mencintai citra Tuhan, bukan tuhan itu sendiri.

Maka, karena tabiat menyembah itu ada secara fitrah pada diri manusia, maka tabiat menyembah itu harus diletakkan pada porsi yang seharusnya. Pada saat itulah anda dapat dikatakan sebagai manusia sadar akan dirinya dan sadar akan tuhannya. Karena alam materi tidak akan pernah memuaskan diri anda selamanya, karena anda hanya mendapatkan citranya saja, bukan hakikat.
و السلام عليكم

Tentang Ketuhanan

Setelah menganalisa konsep tentang tuhan yang sering kita gunakan untuk menjalin hubungan dengan tuhan. Dan mampu kita cerna dengan baik bahwa hal itu hanyalah sebuah abstraksi imaginer dari masing-masing individu. Fokus berikutnya yang coba kita bahas adalah wilayah tuhan memasuki diri kita.

Pada umumnya, dipercaya bahwa hati merupakan manifstasi keberadan tuhan. Pencarian tentang tuhan tak pernah manusia jumpai di wilayah materi, maka manusia beralih perhatin menuju hati. Umumnya disinilah manusia menamukan tempat bermukim dan menghabiskan waktunya bersama tuhan dalam keseharian hidupnya.

Didalam hati inilah manusia menemukan kebenaran-kebanaran ‘ajaib /bawah sadar’ yang tidak ia temui di wilayah materi. Kebenaran-kebenaran tersebut membuat manusia mengisolasikan dirinya menjauhi segala hal yang berhubungan dengan sifat-sifat materi. Kalau umumnya pada penggunaan akal manusia merasa melihat dan menemukan tuhan disegala hal melalui panca inderanya, tapi di wilayah ini manusia mendalami sendiri dirinya dan perasaannya dan ia merasa puas dengan kehidupan tersebut karena ia juga merasakan hidup bersama tuhan. Jadi ada dua arah. Yang pertama hidup dengan tuhan melalui kemampuan analisa dan panca indera,yang kedua hidup bersama tuhan dengan kedekatan emosional.

Keduanya sama-sama membahayakan. Namun fokus kita batasi pada penggunaan hati. Umumnya, setiap ilmu pengetahuan selalu melekat sifat kekuasaan. Hal ini sesuai dengn semangat era modern (Francis Bacon) dimana pengetahuan selalu identik dengan kekuasaan. Dan orang yang merasa mampu menyelami perasaannya akan menularkan kepercayaannya terhadap kebenaran mutlak ini kepada orang lain. Hal ini sering menimbulkan perbudakan agama (Religius Slavery). Dan pada umumnya kita tidak mampu untuk berontak, karena itu berarti mengingkari perasaan (dimana tuhan kita anggap berdiam disana). Sehingga kekuasaan religius ini semakin kuat menancap membuat hilang daya kritis dan kemampuan berfikir kita.

Apakah wilayah hati selalu mambawa kebenaran? Menurut ilmu psikoanisa, manusia dalam kehidupannya sebenarnya selalu digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Dorongan-dorongan tersebut selalu menekannya untuk merealisasikan apa yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya (menuntut aktualisasi). Alam bawah sadar adalah wilayah yang sedang didalami dan dipelajari. Kita sering bermimpi yang dikemudian hari menjadi kenyataan, baik itu mimpi yang jelas peristiwanya maupun menyiratkan simbol-simbol tertentu yang dapat kita prediksi arah kebenarannya, juga karakter dan perilaku sosial merupakan wilayah ini. Intinya, kebenaran wilayah hati/ alam bawah sadar merupakan wilayah yang belum dapat diyakinkan keakuratannya. Juga dalam filsafat etika, kemampuan Immanuel Kant telah diragukan. Karena fokus pada individu membawa manusia menjadi absolut

Mengapa wilayah hati harus diwaspadai? Umumnya, setiap manusia memasuki fase penelitian baru, tuhan selalu tersingkir keberadaannya. Dahulu, tuhan identik dengan alam dan seiring dengan pengetahuan manusia, alam ternyata bukanlah tuhan dan diketahui bahwa geraknya mekanistik dan dapat dipelajari. Disini timbul pengetahuan baru bahwa tuhan bukan alam, begitu juga saat manusia memasukkan tuhan dalam pikiran dan hatinya. Kecenderungan besar bahwa tuhan akan tersingkir jika manusia melakukan penelitian akan terbukti. Inilah yang membuat Fritjof Capra berkata” tuhan berada di batas horison kita”

Tulisan ini tidak menggiring kesadaran kita dan keinginan kita untuk berhubungan dengna tuhan menjadi jauh atau hilang, tetapi hubungan dengan tuhan melalui kedalaman perasaan dan hati individu tertentu menjadi berpotensi tidak baik dan merendahkan derajat manusia lainnya (Religius Slavery). Sebagai sebuah pra-wacana dimana kebenaran mutlak tersebut adalah relatif mari kita dialogkan tuhan sebagai sesuatu yang dimiliki bersama.

Tulisan ini juga tidak menyalahkan pemikiran manapun yang menemukan terang pada fokus pembahasan atau pendalaman wilayah tertentu (akal maupun hati). Hanya, porsi wilayah kekuasaan tuhan selayaknya dipikirkan kembali dan mendapat tempat sewajarnya.