Senin, Februari 25, 2008

Tentang Kebenaran Dan Nabi (untuk komay.blogspot.com)

Saya pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif selama kebenaran itu bersanding dengan manusia. Bagaimana dengan sosok nabi selaku pembawa kebenaran absolut? Apakah posisi ini mendapat pengecualian?
Sebelumnya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa nabi adalah sosok manusia yang manusiawi, bukan sosok manusia yang ilahi. Hal-hal yang mutlak/ absolut adalah titipan tuhan yang diturunkan kepada nabi. Selama titipan itu masih berada dalam bungkus aslinya (tertutup dari segi pemahaman manusia), maka kebenaran itu tetap menjadi absolut (namun, apa arti benar jika tidak mampu dipahami?). Terlebih, nabi selaku pembawa berita absolut tersebut menyapaikan bentuknya dalam segi uraian atau tulisan, maka ia memasuki dimensi manusia. Karena ia memasuki dunia manusia, maka setiap manusa berhak memberikan interpretasinya masing-masing, karena posisi pemberian makna adalah manusia itu sendiri. Dari sini saja, sudah timbul beragam kebenaran yang tidak absulut yang merupakan turunan dari kebenaran absolut bukan?
Sedangkan sosok nabi yang manusiawi, tidak pernah terlepas dari kecenderungan-kecenderungan yang dimliki oleh manusia pada umumnya. Bukankah nabi pernah mengharamkan madu demi menyenangkan istri-istrinya? Kemudian Allah menegur nabi? Juga bukankah nabi pernah mengabaikan ibnu ummi maktum (seorang buta) yang meminta dakwah selagi nabi sedang berdakwah menghadapi pemuka quraisy? Juga bukankah nabi pernah salah dalam memberikan pendapat tentang tata cara mengawinkan buah kurma?. Itu dalam segi pengetahuan dan politik nabi yang manusiawi, bagaimana dengan sosoknya? Ayolah, tidak mungkin kita memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak berjenggot bahwa ia tidak mengikuti tuntunan rasul hanya karena nabi menyuruh memanjangkan jenggot. Bukankah ini wilayah manusia? Wilayah interpretasi nabi yang memandang baik hal-hal keduniawian?
Saya tidak menyanggah kemampuan nabi selaku subjek pertama (penerima wahtu) untuk mendapat kebenaran yang paling “mendekati” maksud dan keinginan tuhan, saya juga tidak menyanggah kemampuan potensi pribadinya untuk dapat menerima kebenaran absolut dari yang “absolut”. Ini merupakan kemampuan istimewa yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Pada titik ini tentu kita harus mengakui kelebihan nabi. Sebab kalau hal-hal itu dapat dilakukan oleh semua manusia, maka tentu tidak perlu nabi bukan? Walaupun setelah nabi menerima dan menyampaikan wahyu tersebut, setiap mansuisa merasa mampu dan bahkan mencoba melakukannya lebih baik dari nabi. Itu sah-sah saja
Posisi nabi yang saat ini masih saya akui adalah sebagai seorang penyampai. Seperti fungsi lidah (baca: ateisme dalam islam) dalam mulut. Begini penjelasannya: setiap kita mempunyai mulut dan lidah didalamnya bukan? Artinya, setiap kita punya potensi untuk dapat mengucapkan dan berkomunikasi dengan kemampuan itu. Tapi, nabi adalah seorang pencetus penggunaan lidah tersebut bagi banyak orang. Ia memberitahukan fungsi lidah dan apa yang dapat dilakukan olehnya. Baru setelah manusia umum mampu melihat potensi ini, mereka mengembangkannya, bahkan pada tingkat yang sangat maju dan canggih melebihi apa-apa yang telah dilakukan oleh nabi. Tapi tetap, semaju apapun yang telah dilakukan oleh manusia, nabi adalah pencetus, pelopor utama , pembangun pondasi.

Tidak ada komentar: