Sabtu, Februari 23, 2008

Tentang Ketaatan Buta

Setiap orang yang menggeluti dunia religiusitas tentu menginginkan kemurnian dalam peribadatan. Segala upaya yang dilakukan tentu diarahkan demi ketaatan itu sendiri, walapun mungkin bentuk aktifitas yang dilakukan amat beragam dan memiliki tingkat intensitas yang berbeda. Pendek kata, apapun yang dilakukan berpulang pada tujuan utama sang “abdi” tersebut yang memfokuskan segala bentuk perilakunya demi Tuhannya.
Dalam segi sikap, ia bersikap seperti orang yang tidak memiiki kemauan terhadap dunia dan memandang dunia sebagai serbuah manifestasi tuhan yang diciptakan untuknya dan dihadirkan oleh tuhan untuk diambil hikmahnya, sedangkan posisinya adalah sebagai penonton yang pasif, berfikir dan mencerna segala hal yang hadir dan tampak dihadapannya. Kecenderungannya untuk memihak menjadi hilang, ia seperti orang yang tidak memiiki pegangan dan hasrat, karena segala hal dimatanya adalah baik, sebagamana tuhan yang telah menciptakan peristiwa itu menyimpan hal-hal baik. Segala hal yang dilihatnya mengandung hal-hal positif, sehingga rasa kepercayaannya meningkat terhadap apapun dan situasi yang bagaimanapun
Sikap ini menghilangkan kewaspadaan diri dan kemawasan. Hal-hal seperti taktik, tipu daya dan konspirasi dalam bentuk yang paling kecilpun akan hilang dalam prasangka dirinya dan memandang segal yang berada disekelilingnya adalah baik, dapat dipercaya, dapat dicarikan solusi yang paling baik jika mengandung masalah. Ia menarik diri dari pertikaian dan perbedaan pendapat, mengeluarkan pendapat yang ia kira mampu menampung semua golongan dan menjauhkan diri dari persekongkolan apapun yang dalam sisi negatif yang paling kecil, pasti memberikan dampak yang buruk dan negatif pada lawannya.
Hal tersebut terlihat amat mencolok. Anda tahu apa yang membuat sikap ini berbahaaya? Mereka yang memiliki tingkat ketaatan (yang katanya ) tinggi seperti ini amat berpotensi untuk meningkatkan jumlah perbudakan religius (religious slavery) karena ketaatan yang ia berikan nantinya akan ia serahkan secara bulat kepada (yang ia sebut) “pemimpin agama”, yang secara simbolis ia maknai sebagai sebuah ketaatan penuh jika ia mampu memberikan ketulusan hati, kejernihan pikiran dan kesiapan raga yang maskimal terhadap pemuka agama tersebut.
Apapun perintah dan tugas yang diberikan oleh pemuka agama tersebut akan dianggap sebagai sebuah bentuk ungkapan/ tes/ ujian keseriusan dirinya dalam menjaankan perintah agama. Sehingga apapun yang diminta oleh pemuka agama itu akan segera ia penuhi, ia sanggupi dan ia korbankan apa yang dimiliki dengan tujuan mencapai kedekatannya dengan tuhan. Tetapi, apakah sikap pemuka agama tersebut melambangkan sikap tuhan? Hal ini tentu tidak masuk dalam agenda pemikiran sang abdi bukan? Jika benar seperti ini sikap ketaatan itu, maka pemuka agama tersebut berpotensi untuk merubah ketaatan murni yang polos tersebut menjadi sebuah potensi perbudakan hirarkis yang kuat, kokoh dan militan.
Pemuka agama yang mampu melihat gejala ini dapat memanfaatkan situasi tersebut menjadi sebuah kekuatan baru yang berpotensi mengandung kekuatan ekonomi, politis, sosial dan budaya. Kemampuan sang pemuka amatlah penting dalam menentukan arah pergerakan kekuasaannya yang berlandaskan pada ketaatan tersebut. Strategi yang ia kembangkan dalam membentuk sebuah komunitas baru yang seragam amat mungkin menimbulkan hegemoni yang bermanfaat (dalam sudut pandangnya) dan berdaya guna
Jika ini yang terjadi kemudian, maka hal lain yang timbul setelah komunitas tersebut mampu ia mapankan, adalah mempertahankan posisi kemapanan tersebut terhadap segala macam gangguan dan halangan yang merintangi. Persiapan kader, pemilihan calon penerus, membuka peluang kenaikan status bagi orang-orang yang teruji kualitasnya untuk melanjutkan perjuangannya, adalah sedikit dari hal-hal yang akan dilakukan demi upaya tersebut. Dan segala bentuk pemikiran baru dan sikap-sikap baru tentu mendapat filterisasi yang kuat dan ketat demi menyelematkan hegemoninya.
Pada tingkat ini, dapatlah dipertanyakan tentang ketaatan. Apa kabarnya? Tentu anda bisa menjawab bahwa ketatatan murni tadi telah hilang. Ketaatan murni yang sedari awal telah mengandung kebodohan tadi kini akan menarik para abdi-abdi baru yang tidak memiliki modal apapun kecuali niat mencari ketaatan dan pengembangan religius. Ia akan bertemu dengan orang-orang yang telah menghegemoni secara mapan komunitas yang tersebut diatas dan meracuni piiran-pikiran “anak baru” dengan kesolidan, kekompakan dan kekuatan hati mereka .
Begitulah siklus itu terjadi terus menerus dan berkesinambungan. Secara perlahan ia akan berjalan dan mapan dalam lingkungannya, diterim oleh masyarkat dan mulai dengan lambat membentuk budaya-budaya baru yang akan dilestarikan. Lama-kelamaan, segala hal yang tdilestarikan tersebut akan menjadi nilai kebenaran yang diterima oleh orang banyak/ umum. Mengagumkan! Padahal awal mulanya adalah sebuah ketaatan buta!

Tidak ada komentar: