Senin, Maret 03, 2008

Insting Dan Nalar Dalam Memilih (Tanggapan Untuk Wahyu)

Kita harus berfikir ulang mengenai kecenderungan pilihan yang kita lakukan setiap hari. Apakah kecenderungn piilhan kita terhadap sesuatu itu pilihan nalar atau insting?

Pertama secara instingtif. Perhatikan dari mana timbulnya kesukan kita terhadap sesuatu. Apakah ia timbul dari ketidak sadaran /alam bawah sadar? atau tidak. Sebagai contoh. Dalam sebuah keluarga, tidak pernah terdapat kesamaan terhadap jenis makanan yang sama. Jika sang ibu dan ayah menyukai buah durian, belum tentu sang anak kan memilih buah durian jika ia ditanya apa jenis buah yang disukainya, walaupun ayah dan ibunya telah menjelaskan banyak hal tentang kebaikan dan manfaat buah durian.

Kita mengatakan itu sebagai sebuah pilihan bebas. Tapi bebas dari apa? Apakah kehendak yang timbul tersebut benar-benar bebas? Bukankah justru kita tidak dapat melawan kecendrungan kita untuk menyukai sesuatu dan menuruti kehendak yang kita sendiri tidak pernah tahu dari mana asalnya dan bagaimana menjelaskannya/ tanyakan juga hal itu pada orang yang sedang jatuh cinta. Apakah ia mengatakan itu murni karena pengetahuannya tehadap objek yang dicintainya tanpa naluri instingtif sama sekali? Atau pilihan jalan hidup, cita-cita, bakat seni, dan sebagainya. Sebagian besar kecenderungan ini tidak dapat dikatakan merupakan pilihan sadar. Dorongan tersebut timbulnya secara spontanitas yang mendorong dan memberi kekuatan. Ia memberikan gambaran tentang kesenangan yang akan didapat jika kita melampiaskan keinginan itu. Walaupun tidak semua (insting primitif) itu membawa kebaikan, tetapi harus diakui bahwa insting ini telah membantu kita dalam menentukan pilihan dan memberikan kita beberapa jenis kepuasan yang menyenangkan. Bahkan diantaranya menjadi pilihan tetap meskipun ia tidak mampu menjelaskan mengapa ia memilih hal tersebut.

Adalagi pilihan yang berdasarkan nalar. Hal ini terdengar seperti konsep Plato yang menegaskan bahwa pilihan manusia itu pada dasarnya adalah baik (selama ia memiliki pengetahuan tentang itu) namun jika ia melakukan hal-hal buruk, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya ia tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, karena itu apa yang ia lakukan belum dapat sepenuhnya dikatakan salah.

Jadi, piihan yang dilakukan adalah proses olah pikir yang telah dilakukan oleh Subjek sebelum ia menentukan pilihan. Sebuah cara pandang yang menarik bukan? Namun, jika kita melulu mengandalkan pengetahuan terlebih dahulu sebelum melakukan pilihan, saya khawatir kita akan terlalu sedikit dan selektif dalam melakukan sesuatu, karena kapasitas kemampuan kita melakukan olah informasi tidak dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang luas.

Mungkin jalan yang akan dipilih adalah melakukan musyawarah dan mengajak orang lain urun rembug dalam sebuaah pilihan. Namun tetap, setiap individu yang hadir pun akan melakukan kecendrungan instingnya untuk diajukan sebagai sebuah alternatif yang baik menurut masing-masing personal. Walaupun, tetap saja pilihan keputusan yang diambil nantinya akan disebut sebagai sebuah pilihan nalar.

Anda tertarik untuk mengambil sintesis dari hal diatas? Saya setuju jika begitu, karena kita mempunyai pendapat yang sama untuk sementara. Dan alternatif itu adalah pada sikap waspada. Kita tidak dapat melakukan sikap "harga mati" terhadap sesuatu tanpa dapat terlebih dahulu melakukan nalarisasi terhadap hal-hal baik dan hal-hal buruk terhadap objek "harga mati" itu. kita tidak dapat menerapkan konsep absolut baik dan benar pada pilihan yang kita lakukan karena kita tahu persis kondisi objek pilihan itu. ini menandakn sikap waspada yang terbuka, manusiawi dan pantas.

Atau anda punya konsep lain?

1 komentar:

Amirul Huda mengatakan...

well done!!
dan terus menulis