Senin, Maret 03, 2008

Tuhan Konsep

Pengetahuan tentang Tuhan yang dapat saya lihat adalah akumulasi dari berbagai pengalaman hidup yang dialami dan dimiliki oleh manusia. Proses akumulasi itu kemudian disandarkan pada kata "Absolut" dan ekslusif milik subjek. Dalam hal ini, Tuhan menjadi refleksi pengalaman dan sandaran bagi kumpulan nilai yang telah ia dapat selama hidup.

Mudahnya begini. Jika subjek banyak mengalami perlakuan kasih sayang, perhatian, kebaikan dari keluarga dan lingkungan, maka Tuhan akan menjadi suatu Subjek yang baik, menyenangkan, penuh cinta, Maha memperhatikan dengan kasihnya, dan hal –hal baik lain yang sesuai dengan apa yang sebelumnya ia kenal. Hal-hal inilah yang akan ia bawa dalam pengkonsepan Tuhan yang ia pertahankan dan sebarkan kepada orang lain, karena hal itulah yang benar-benar ia pahami tentang nilai.

Dari sisi lain, jika selama ini ia mengalami penyiksaan, perlakuan kasar, kehidupan keras dalam kepahitan hidup dan embel-embel citra "maskulin" lainya, maka ia akan menggunakan pengalaman yang ia dapat tersebut pada konsep Tuhan. Ia akan lebih mengenal Tuhan sebagai Subjek yang akan memberikan hukuman terhadap kejahatan, memberikan kasih sayang terhadap pemberontakan melawan kejahatan, memberikan kenyamanan hidup dengan kelimpahan makanan dan lainya sebagai respon melawan kerasnya hidup yang pernah ia jalani.

Jika kita buang jauh-jauh konsep Tuhan dengan cara ini, maka kita perlu merumuskan konsep baru tentang Tuhan. Tentang konsep yang mampu menaungi konsep-konsep lain sehingga kita dapat sebuah konsp yang paripurna.

Tapi, jalan tengah yang tampaknya cerdas ini juga membahayakan dan tetap sesat pikir. Jika pada dua contoh sebelumnya dapat kita katakan sebagai bentuk membangun pemberhalaan dalam konsep (dikepala) maka proses ini adalah pembuatan berhala yang lebih besar untuk mengalahkan konsep berhala-berhala kecil sebelumnya. Seperti keadaan Arab pra Islam dengan 360 berhala (berhala kecil) dan Latta atau 'Uzza (untuk berhala besar yang mengalahkan kemampuan berhala-berhala kecil). Jadi, kita diminta untuk melakukan peng-'Uzza-an atau peng-Latta-an baru.

Lalu apakah kita akan "Membuang-Buang Tuhan" seperti yang dikatakan Cak Nun? Atau melihat Tuhan sebagai horizon seperti tokoh Eksistensialisme (Kierkgard?). bagaimana menjadi sosok Ibrahim baru bagi pemberhalaan ini?

Saya setuju saja dengan konsep manapun yang dipakai, karena sejujurnya kita tidak dapat membangun sebuah jembatan kekhusu'an dalam beribadah jika kita tidak memiliki konsep apapun tentang Tuhan. Tetapi, konsep itu tetaplah tidak boleh absolut, karena definisi absolut tidak boleh diberikan kepada Tuhan. Bukankah tuhan terlepas dari semua definisi?

Tidak ada komentar: