Senin, Februari 18, 2008

Mencari Pegangan Dari Hal Relative

Menghentikan pemberhalaan terhadap konsep tuhan yang dimiliki oleh manusia dan merelatifkan pemahaman akan kebenaran yang diyakini dengan hati/ kalbu sudah kita bahas.
Lalu pertanyaan timbul? Jika kedua hal tersebut (pemahaman yang selalu mendominasi nilai-nilai keseharian kita) menjadi hilang urgensinya, pada hal-hal apa kita dapat berpegang dan menyandarkan diri?
Bagi saya, kedua hal tersebut tetaplah penting sebagai pendoman nilai hidup keseharian. Aku dapat menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain dengan kebenaran yang aku miliki dan aku yakini. Aku dapat membantah konsep tuhan yang disampaikan oleh orang lain dengan konsep tuhan yang aku miliki (dan tuhanku aku yakini lebih baik dari milik orang lain). Hanya saja, yang menjadi permasalahan adalah saat aku meng-absolutkan kebenaran yang aku miliki dan menganggap diriku lebih baik dan lebih benar dalam hal pengetahuan dan pemahaman akan kebenaran.
Tuhan adalah absolut, pemahaman kita adalah partikular. Bagaimana anda bisa mengabsolutkan pemahaman anda terhadap yang absolut sedangkan anda adalah elemen partikular?
Kebenaran yang kita bawa adalah kebenaran yang bersifat "serpihan kebenaran" dari kebenaran yang tuhan miliki. Tidak benar adanya pemahaman yang dipaksakan. Juga tidak benar adanya nilai religiusitas yang didoktrinkan. Setiap kita berinteraksi dengan yang absolut dengan cara masing-masing dan dengan tingkat pemahaman masing-masing dan masing-masing kita menikmati perasaan religiusitas tersebut dan berusaha sampai mati mempertahankan yang kita miliki.
Bukankah menjadi hal yang menggelikan jika kita memaksakan pemahaman kita sedangkan pemahaman yang kita dapat tersebut berasal dari pengalaman pribadi yang bersifat eksklusif (hanya aku yang mengalami). Bagaimana aku memaksakan perasaan sakit hati terhadap hidup yang keras ini kepada orang yang selalu merasa senang? Tiap diri merasakan pengalaman religius ini secara pribadi dan setiap pribadi berhak berpendapat dan menilai tentang kebenaran.
Begitulah relativitas, kebenaran tetaplah barang mahal yang harus tetap dicari. Tuhan memang milik setiap orang, tapi setiap orang tidak dapat menggeneralisasikan kebenarannya untuk orang lain. Hidup harus terus mencari dan berlatih berinteraksi dengan kebenaran agar dapat dipahami oleh setiap orang.

1 komentar:

komay mengatakan...

hahaha...
bagaimana dengan transfer kebenaran dari Nabi Muhammad kepada sahabat, keluarga, anak, istri, atau masyarakat di kala itu?